Buku putih Seorang Demonstran

id buku, putih

Buku putih Seorang Demonstran

Buku "Anak Anak Revolusi" karya Budiman Sudjatmiko yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada Oktober 2013. (Twitter.com/budimandjatmiko)

"Soeharto kok dilawan...," begitu kira-kira komentar yang pas ketika anak muda bernama Budiman Sudjatmiko secara terang-terangan melawan Orde Baru dengan mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996.

Bendera partai yang merah menyala, asas partai yang disebut sebagai sosial demokrasi kerakyatan, dan aksi-aksi turun ke jalannya membuat PRD sungguh-sungguh menantang kenyamaan Soeharto.

Maka, jika gerakan reformasi 1998 gagal, nama Budiman Sudjatmiko pasti dikenang sebagai antek-antek komunis, yang kerjaannya cuma membuat rusuh dan memanas-manasi petani untuk menuntut tanah.

Sebelum Budiman Sudjatmiko mendirikan PRD, dia merupakan aktivis gerakan reformasi tanah, yang menggerakkan petani di sejumlah daerah untuk menuntut kembali hak mereka atas tanah yang dikuasai oleh institusi maupun konglomerasi.

Atas aksinya itu, dia berulangkali berurusan dengan pihak keamanan, ditangkap, digebuki, bahkan distrum.

Namun di lain sisi, semua sosok mereka itu juga merupakan sasaran empuk yang bakal mudah dijadikan kambing hitam oleh penguasa, justru karena semua penampilan mereka berbeda dengan tabiat partai resmi. Bahkan terlihat lebih galak. 

Pada saat bersamaan, dinamika politik ketika itu sedang diwarnai kemelut di lingkungan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), satu dari tiga partai yang diakui pemerintah.

Persaingan Megawati Soekarnoputri, yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI, dengan Soerjadi yang didukung pemerintah, akhirnya mencuatkan kerusuhan 27 Juli 1996.

Kerusuhan itu berlangsung setelah ratusan orang menyerang markas PDI di Jalan Diponegoro, yang dikuasai pendukung Megawati.

Kerusuhan meluas menjadi gerakan anti-pemerintah, gedung-gedung milik pemerintah, terutama di kawasan Matraman - Salemba, dibakar. Tapi pemerintah sudah punya kambing hitam: Budiman Sudjatmiko dkk.

Mereka ditangkap, diadili, dan Budiman divonis 13 tahun. 

Saat Budiman ditangkap, belum ada revolusi yang dia idam-idamkan sejak SMA. Soeharto masih jadi penguasa dan Budiman dinarapidanakan oleh rejim yang ingin ditumbangkannya itu. 

"Aku ingin revolusi, mas," begitu kata Budiman kepada kakak kelasnya di Yogyakarta bernama Herman yang memperkenalkan banyak buku, seperti karya Nietzsche, Camus, dan Sartre. 

Semua dongeng kisah nyata politisi yang kini jadi anggota DPR-RI itu dapat dibaca dalam sebuah buku tulisan Budiman Sudjatmiko. 

Novel autobiografi berjudul "Anak-anak Revolusi" yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada Oktober 2013.

Catatan atas perjalanan hidupnya yang dirangkai sebagai novel heroik romantis ini memperlihatkan jalan panjang dan berliku yang mesti dilalui Budiman untuk konsisten memperjuangkan sesuatu; sesuatu yang menghantuinya sejak kecil, sesuatu yang diyakininya sejak remaja, sesuatu yang dipilihnya sebagai jalan hidup bahkan ketika dia belum dewasa. 

Sebagai anak-anak, Budiman juga mengalami pergantian cita-cita. Malah dia pernah ingin jadi pemuka agama.

Tapi, berbeda dengan kebanyakan anak, dia begitu cepat mendapatkan keputusan untuk berhenti pada satu cita-cita. 

Tapi, aneh juga ketika dia menulis bahwa pada masa SMP dia sudah memiliki satu arah yang akan dituju, yaitu politik. Bahkan, sasaran tembak yang dituju pun sudah jelas; pemerintah.


Konsisten

Buku bersampul putih dengan gambar tapak sepatu lars dan setangkai mawar merah yang kelopaknya berguguran itu bercerita tentang konsistensi Budiman Sudjatmiko dalam memilih jalan politik.

Jalan politik mulai mengerucut sebagai pilihan hidupnya setelah dia kembali ke desa di Majenang, Cilacap, kembali hidup bersama dengan kakek-neneknya, saat kelas 2 SMP. 

Dia sengaja memilih kembali ke desa setelah merasa terasing hidup di Bogor dan jauh dari kemiskinan, kegembiraan, dan perasaan gundah gulananya yang dia nikmati di desa.

Saat duduk di kelas 3 SMP di Majenang, dia mendapat guru politik pertama. Itu membuatnya makin menjadi-jadi dan mulai berfikir soal perlawanan, walau masih dalam ranah pikiran dan tak ada kawan untuk itu. 

Maka, orang tua dari Budiman pun memaklumi ketika sang anak mohon izin untuk sekolah SMA di Yogyakarta, kota pendidikan, sekaligus kota pergerakan. 

Di kota itu, makin menjadilah Budiman sebagai aktivis politik. 

Di sana dia bukan hanya mendapatkan komunitas yang menggelorakan hobinya berdiskusi sejak SMP. Dia juga mendapatkan banyak guru, mentor, dan juga buku. Yang terpenting, dia mendapatkan kesempatan untuk mengorganisir perlawanan.

Buku setebal 473 halaman ini memperlihatkan perkembangan pikiran Budiman yang melompati usianya, sehingga ketika bersekolah di SMA Muhammadiyah di Yogya, dia pun tidak kesulitan bergaul dengan mahasiswa. 

Bahkan, akibat pergaulannya itu, dia mesti hengkang dari kota itu dan kembali ke Bogor. 

Pengalaman diinterogasi aparat keamanan saat dalam "pelariannya" di Bogor rupanya menjadi yang pertama, karena selulus SMA di kota tempat orang tuanya tinggal itu dia kembali ke Yogyakarta untuk berkuliah. Atau tepatnya, untuk menjadi aktivis politik.

Jika buku ini dianggap "buku putih", maka di dalamnya Budiman memperlihatkan sosoknya, sosok diri yang berbeda dengan yang digambarkan Orde Baru. 

Selain itu, dia memperlihatkan bahwa ada orang yang memang menjadikan politik sebagai jalan hidupnya, bagaikan Musashi Miyamoto yang hidup di jalan pedang. 

Budiman juga bercerita tentang konsistensinya berjuang dari desa sebagai misinya dalam berpolitik. 

Bagi lelaki kelahiran 1970 itu, desa merupakan tempat yang pas untuk melacak mengapa ada kemiskinan, ketakutan dan ketidakpedulian. 

Desa disebutnya sebagai akar dari berbagai permasalahan kemiskinan dan ketakutan pada Orde Baru. Sedangkan kota besar hanyalah muara tempat berkumpulnya sampah dan bangkai yang diseret banjir bandang kemiskinan dan ketakutan di desa-desa.

Di desa tempat tinggalnya, Budiman bercerita tentang kematian akibat kemiskinan pada orang-orang yang dikenalnya. 

Di sana pula dia melihat bagaimana orang-orang takut pada rejim Orde Baru dan wajib memilih Golkar saat pemilu. 

Bahkan kakeknya, yang adalah pendukung setia Soekarno justru, mau tidak mau, harus menggiring warganya untuk memilih Golkar.

Konsistensi bergerak dari desa itu terus bisa diikuti, dan ketika dia menjadi anggota dewan, justru dia sudah memiliki sesuatu untuk diperjuangkan. Budiman adalah Wakil Ketua Pansus RUU Desa di DPR-RI periode 2009-2014.

Ini tentu saja berbeda dengan banyaknya orang yang masuk ke dunia politik secara "ujug-ujug". 

Seperti dalam novel ini, rupanya Budiman benar-benar belajar dari buku, seperti yang juga dilakukan politisi di zaman pergerakan. 

Dengan buku yang disebut sebagai jilid I ini, dia juga meniru politisi pergerakan yang menguraikan konsep dan pikiran lewat buku. 

Politisi dan buku, sesuatu yang langka saat ini. (skd)