Romantisme "Perempuan Dalam Sakaya"

id Buku, Cerpen, Abdian, Nemubuku

Romantisme "Perempuan Dalam Sakaya"

Kumpulan Cerpen "Perempuan Dalam Sakaya" Karya Abdian Rahman diluncurkan. (dok.nemubuku)

Cerpenis kelahiran Donggala, 7 Juni 1988 ini, menceritakan kisah cinta yang dialaminya harus kandas karena perempuan yang dikasihinya meninggalkannya tanpa pesan dan alasan jelas.
Palu (antarasulteng.com) - Penulis sastra dan jurnalis muda Abdian Rachman mencurahkan isi hati dan pengalaman pribadi melalui kumpulan cerita pendek (cerpen) berjudul "Perempuan dalam Sakaya" yang diluncurkan di Kota Palu, Sabtu (1/2).

Abdian, usai peluncuran kumpulan cerpen di perpustakaan mini "Nemu", mengaku beberapa cerpen di dalam buku setebal 83 halaman adalah penggalan kisah pribadinya, entah itu romansa percintaan ataupun kehidupan sosial masyarakat yang dialaminya.

Namun secara khusus, ia mencurahkan kegetiran kisah asmara yang dialaminya pada cerpen berjudul "Perempuan dalam Sakaya". Sakaya dalam bahasa lokal di sebuah daerah di Kabupaten Donggala, berarti sampan atau perahu.

Cerpenis kelahiran Donggala, 7 Juni 1988 ini, menceritakan kisah cinta yang dialaminya harus kandas karena perempuan yang dikasihinya meninggalkannya tanpa pesan dan alasan jelas.

Kegalauan hati yang ia alami dituangkan ke dalam sosok Dabo yang menganggap ibunya adalah laut. Dalam cerita itu, Dabo tidak menduga perempuan yang diidamkan menjadi pasangannya pergi meninggalkannya, seolah menaiki sakaya dan hilang bersama hembusan angin.

Dalam cerpen unggulan itu, Abdian ingin mengajak pembaca menjadi laut, angin, hujan, gelombang atau bagian alam lainnya.

Sementara Neni Muhidin selaku penyunting kumpulan sebelas cerpen perdana karya Abdian Rahman, mengaku menemukan si cerpenis saat aktif di pers mahasiswa di Universitas Tadulako (Untad) Palu.

Dia mengatakan penulis yang juga sebagai guru honorer di sekolah negeri di Kabupaten Donggala itu mencoba melakukan penelusuran budaya dalam bingkai keindonesiaan.

"Di sini ada pertemuan budaya berbeda yang menarik," katanya yang juga mengajak para pecinta sastra tidak hanya sekedar penikmat, melainkan menulis karya sastra entah itu cerpen, puisi, atau bahkan novel.

Akademisi Untad Palu, Rahman T, mengemukakan penulis masih kurang maksimal dalam mengupas aspek budaya lokal yang akan coba ia tonjolkan. "Ini masih tanggung, istilahnya main setengah. Ibarat, hanya cium pipi kiri dan kanan saja, tidak lebih padahal masih banyak yang harus dilakukan," katanya.***