Mengapa Teknologi Udang Supra Intensif Mendesak Dikembangkan?

id udang, supra

Mengapa Teknologi Udang Supra Intensif Mendesak Dikembangkan?

Beberapa pekerja memperlihatkan udang vaname hasil panen di tambak supra intensif UPTD Desa Kampal, Kabupaten Parigi Moutong, pada Sabtu (29/6). (ANTARASulteng/Istimewa)

Palu,  (antarasulteng.com) - Ekonomi Indonesia dewasa ini sedang didera dua krisis yang cukup menggelisahkan, yakni pelemahan nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang belum kunjung teredam dan musim kemarau yang menimbulkan berbagai dampak terhadap produktivitas berbagai komiditas ekspor dan pangan.

Nilai tukar rupiah sempat menembuh angka Rp14.500 per dolar AS lalu diperparah dengan musim penghujan yang tak kunjung tiba, sehingga berdampak terhadap turunnya kinerja ekspor komoditas agro dan perikanan sebab proses budi daya terganggu.

Bila penurunan ini tidak segera dikendalikan, ia pasti mengancam pasokan bahan baku ke industri prosessing. Efek (negatif) domino pun akan terjadi.

Guna meredam krisis, diperlukan tambahan deposit dolar ke dalam negeri antara lain melalui peningkatan volume dan nilai ekspor berbagai komoditas termasuk udang, karena udang adalah komoditas penting dan strategis dalam menambah pundu-pundi penghasilan devisa negara.

Data Badan Pusat Statistik mencatat ekspor hasil perikanan Indonesia 2014 menyumbang devisa 4,6 miliar dolar AS, separuhnya disumbangkan oleh udang dengan volume ekspor sekitar 250.000 ton.

Ketua Shrimp Clup Indonesia Wilayah Sulawesi Hasanuddin Atjo mengakui bahwa melemahnya nilai tukar rupiah memang membuat ongkos produksi udang meningkat karena hampir 60 persen input produksi seperti induk udang, tepung ikan, kincir, pompa air dan peralatan lainnya masih harus diimpor.

Namun itu bukan persoalan, karena bisa diimbangi dengan harga jual yang naik secara signifikan mengikuti gerak nilai tukar.

"Kini udang vaname ukuran 50 ekor per kilogram di tingkat pembudidaya dihargai Rp80.000,00 per kilogram yang sebelumnya sekitar Rp60.000," ujar pengusaha tambak udang di Kabupaten Barru, Sulsel itu.

Lalu apa kaitannya dengan kemarau? Panjangnya musim kering menyebabkan salinitas (kadar garam) air tambak meningkat tajam dan perbedaan temperatur air pada siang dan malam hari menjadi cukup ekstrem.

Kedua variabel lingkungan ini menghambat pertumbuhan udang sehingga memerlukan waktu lebih lama dari biasanya dan ongkos produksi lebih mahal untuk mencapai ukuran tertentu, bahkan di beberapa kasus, menyebabkan kematian massal.

Oleh karena, kata Atjo, diperlukan teknologi budi daya yang dapat diimplementasikan untuk memproduksi udang secara optimal, meskipun kondisi iklim tidak menunjang.



Teknologi supra

Penemu teknologi ini Hasanuddin Atjo mencatat sistem budi daya udang supra intensif yang diluncurkan sejak 2013 tercatat sebagai yang paling produktif di dunia dewasa ini, yakni mencapai 153 ton per ha/musim tanam.

Itu berarti 300 kali lipat dari produktivitas teknologi sederhana; 60 kali teknologi semi-intensif serta 10 kali teknologi intensif yang dikenal di Indonesia.

Tingginya produktivitas teknologi ini kuncinya antara lain terletak pada kemampuan mengendalikan lingkungan internal budi daya, agar homogen secara vertikal dan horizontal.

Karena itu, luasan tambak sengaja dirancang berukuran nisbi kecil antara 100-1.000 meter persegi dengan kedalaman air 2,5-3 meter, menggunakan "central drain" (pembuang limbah mekanis) agar lingkungan internal tambak senantiasa bersih sehingga udang tetap nyaman, meskipun ditebar dengan kepadatan tinggi mencapai 1.000 ekor per meter persegi.

"Teknologi itu sudah terbukti mampu memproduksi udang vaname secara efisien dengan produktif, meskipun pada kondisi iklim yang cukup ekstrem seperti saat ini," ujar doktor perikanan (udang) Unhas tahun 2004 itu.

Karena itu, cara budi daya seperti ini dapat menjadi salah satu pilihan dalam rangka menjaga dan meningkatkan pasokan bahan baku ke industri hilir guna peningkatan perolehan devisa, penyerapan tenaga kerja serta sebagai jawaban upaya menekan konversi lahan mangrove menjadi tambak teknologi sederhana yang masih marak.

Bila ditargetkan dalam kurun lima tahun (2015-2020) secara nasional terbangun tambak udang teknologi supra setara 5.000 ha dan diasumsikan produktivitasnya 100 ton saja/ha/musim tanam, maka dalam setahun akan ada ketambahan produksi sebesar 1.000.000 ton atau meningkat menjadi tiga kali lipat dari kondisi saat ini.

Efek domino dari peningkatan produksi ini adalah kehadiran sejumlah industri pendukung seperti induk udang (brodstock) dan benih (hatchery); industri peralatan dan mesin; industri pakan yang efisien; industri prosessing dan hasil ikutan.

Semua ini tentunya akan menarik masuknya investasi baru atau relokasi, membuka lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi sekaligus menunjang suksesnya obsesi Indonesia menjadi poros maritim dunia dengan tol lautnya.

Terkait dampak kemarau, Atjo menegaskan bahwa dengan teknologi ini, salinitas air tambak serta temperaturnya bisa dikendalikan secara maksimal sehingga kondisinya selalu stabil sesuai dengan tuntutan pertumbuhan udang yang cepat.

Peran pemerintah

Peneliti kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan dari Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako Dr Muhammad Noval mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memberikan perhatian khusus dalam pengembangan teknologi supra intensif dalam budi daya udang vanamei.

"Teknologi ini memiliki banyak sekali sekali manfaat, tidak sekadar produktivitasnya yang tercatat paling tinggi di dunia dewasa ini," ucapnya.

Dari beberapa usaha kecil dan menengah yang mulai mereplikasi teknologi ini, terbukti mampu meningkatkan pendapatan mereka secara signifikan. Apalagi sudah terbukti bahwa teknologi ini pun bisa diterapkan oleh petambak kecil melalui kelompok-kelompok yang dibantu dan didampingi secara efektif oleh pemerintah.

Jadi, menurut Noval, teknologi ini akan menjadi salah satu jawaban terhadap persoalan kemiskinan yang masih mendera masyarakat pantai dan perikanan (darat-laut) pada umumnya.

Pemerintah perlu membantu peningkatan kapasitas pelaku usaha, kemudahan akses ke lembaga keuangan untuk permodalan, serta infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih dan transportasi.

Wakil Ketua Komisi Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Ibnu Multazam sangat mendukung penyediaan dana APBN untuk membangun tambak-tambak percontohan di seluruh provinsi agar mudah dipelajari dan dikunjungi masyarakat yang berminat mengembangkannya.

Politisi PKB itu menilai sangat ideal bila setiap provinsi memiliki minimal dua unit tambak percontohan untuk menjadi lokasi study banding dan tempat praktik (incubator bisnis) bagi masyarakat yang berminat mengembangkannya. Kebutuhan dananya juga tidak besar karena untuk membangun tambak berukuran 20x20 meter, hanya butuh dana sekitar Rp2 miliar.

"Kalau ada usulan dari Kementerian KP soal ini, kami pasti mendukung pengalokasiannya di DPR RI," imbuh Multazam dengan mendesak pihak KKP mengambil langkah-langkah konkret yang signifikan untuk menjadi motor penggerak pengembangan teknologi ini mulai 2016.

Bagi Hasanuddin Atjo selalu penemu teknologi ini, hal yang terpenting adalah bagaimana Pemerintah berperan sebagai "dirigen" yang mampu mengharmonisasikan nada dan gerak peran pemangku kepentingan lainnya seperti menjamin keamanan berinvestasi melalui legalitas tata ruang-rencana zonasi pesisir serta pengendalian konflik sosial, kemudahan perizinan, penyediaan infrastruktur dasar (listrik, air bersih, dan transportasi) serta menciptakan kondisi agar lembaga keuangan lebih tertarik membiayai komoditas ini.