Makan Nasi Bisa Saja "Haram"

id nasi, jagung, pangan

Makan Nasi Bisa Saja "Haram"

Riski Maruto

Padahal seseorang sudah makan mi instan dua bungkus dan roti coklat, tapi masih saja belum puas jika belum makan nasi," kata Tjuk Eko
Palu - Mengonsumsi nasi sebenarnya bisa saja "diharamkan" bukan hanya untuk penderita diabetes tetapi juga untuk mereka yang ingin tetap sehat dan berkomitmen mempertahankan ketahanan pangan keluarga dan bangsanya.

Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada Badan Ketahanan Pangan Tjuk Eko Hari Basuki saat berdiskusi tentang ketahanan pangan di Palu pertengahan Juli 2012 mengatakan, makanan pengganti nasi sebenarnya banyak.

Ada jagung, ubi, gandum, sereal atau sagu dan banyak lagi. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat Indonesia tidak bergantung pada beras.

Dewasa ini beras masih menjadi kebutuhan pokok di Indonesia.

Hasil penelitian, katanya, Indonesia memiliki sekitar 70 bahan makanan yang memiliki kandungan karbohidrat.

"Kita hanya bisa memanfaatkan sekitar tujuh dari 70-an sumber karbohidrat tersebut. Padahal masih banyak sumber lainnya sebagai pengganti beras," katanya.

Tjuk Eko juga berharap kearifan lokal yang masih mengkonsumsi sumber karbohidrat selain beras harus dipertahankan untuk menjaga ketahanan pangan.

Kearifan lokal itu, seperti mempertahankan konsumsi sagu di wilayah timur Indonesia, atau pemanfaatan tales di sejumlah daerah di Jawa Barat.

Tingkat konsumsi beras masyarakat Indoensia tergolong masih tinggi, yakni sebesar 139 kg per kapita per tahun pada 2010.

Pemerintah mulai 2010 berharap menurunkan tingkat konsumsi beras sebesar 1,5 kg per kapita per tahun.

Lebih lanjut Tjuk Eko mengatakan, produksi padi pada 2012 diprediksi sebanyak 67,8 juta ton gabah kering giling (GKG), dan pada 2014 akan sebanyak 76,6 juta ton GKG atau beras sebanyak 43 juta ton.

Dia memperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada 2014 akan mencapai 252 juta jiwa dengan total kebutuhan beras sebanyak 130,99 kg per kapita per tahun.

"Dengan angka itu, pada 2014 kebutuhan beras Indonesia akan mencapai 33 juta ton, atau surplus sebanyak 10 juta ton," katanya.

Meskipun diprediksi surplus beras, katanya, hal itu tidak berarti masyarakat bisa mengkonsumsi nasi seenaknya karena saat ini krisis pangan membayang di depan mata seiring adanya pemanasan global yang mengacaukan pola tanam.

Masyarakat diminta bijak untuk mengurangi konsumsi beras agar ketahanan pangan terjaga.

Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bustanul Arifin, mengatakan beras pada umumnya dikonsumsi di negara-negara berkembang.

Di negara-negara maju, masyarakatnya mengandalkan gandum-ganduman sebagai makanan utama untuk diolah menjadi roti atau berbagai menu lainnya.

Menurutnya, kadar gula di dalam gandum lebih rendah dibandingkan dengan nasi sehingga tidak membuat orang gemuk.

Guru Besar Universitas Lampung ini mencontohkan, sejumlah pemenang ratu kecantikan dari Venezuela atau negara Amerika latin lainnya tidak mengkonsumsi nasi.

"Mereka tetap cantik dan pintar meski tidak makan nasi," katanya.

"Bahkan tidak ada sejarahnya negara juara piala dunia yang rakyatnya menjadikan nasi sebagai makanan pokok," kata Bustanul.

Menurutnya, hal itu membuktikan tidak mengkonsumsi nasi tetap saja bisa membuat badan sehat, otak encer, sekaligus berprestasi di dunia olahraga. Diapun sangat mendukung pengurangan konsumsi nasi.

    
Perubahan Perilaku
 
Banyaknya permintaan beras di Tanah Air, menurut sejumlah pengamat disebabkan oleh adanya perilaku masyarakat yang seolah-olah belum kenyang jika belum makan nasi.

"Padahal seseorang sudah makan mi instan dua bungkus dan roti coklat, tapi masih saja belum puas jika belum makan nasi," kata Tjuk Eko mencontohkan.

Dia berharap perilaku seperti itu seharusya sudah mulai dikikis karena akan memicu peningkatan permintaan beras. Kondisi itu dikhawatirkan jiga menciptakan kerawanan pangan.

Dia mencontohkan, permintaan beras menjelang Lebaran atau atau hari raya tertentu juga selalu meningkat seiap tahunnya meski harganya telah naik.

Sesuai data yang dimiliki Badan Ketahanan Pangan Nasional, konsumsi beras masyarakat Indonesia mengalami peningkatan drastis sejak 1954 hingga 2010.

Pada 1954 sebanyak 54 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi beras, 22 persen konsumsi ubi kayu, 19 persen konsumsi jagung, dan lima persen konsumsi produk pangan lainnya.

Pada 1987, sebanyak 80 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi beras, 10 persen konsumsi ubi kayu, tujuh persen konsumsi jagung, dan tiga persen konsumsi pangan lainnya.

Selanjutnya pada 1999, sebanyak 86 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi beras, lima persen konsumsi ubi kayu, persen konsumsi jagung, dan tujuh persen konsumsi pangan lainnya

Dan pada 2010, pangsa pangan selain beras dalam pola konsumsi masyarakat nyaris hilang, dengan tingkat konsumsi beras masyarakat Indoensia sebesar 139 kg per kapita per tahun pada 2010, dan konsumsi terigu sebesar 17 kg per kapita per tahun.

Olehnya, Tjuk Eko mengatakan gerakan sehari tanpa nasi (one day no rice) harus tetap digalakkan di masyarakat untuk menjaga ketahanan pangan.

Dia juga meminta dunia usaha agar mengembangkan industri pangan lokal yang berbasis tepung-tepungan atau nonpadi untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.

Berbagai kampanye dan sosialisasi tentang pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman juga terus dilakukan kepada masyarakat.

Selain itu, katanya, pemerintah diharap mengubah pemberian bantuan beras untuk rumah tangga miskin (raskin) menjadi bantuan pangan kepada masyarakat miskin.

Menurutnya, Indonesia kaya akan berbagai pangan selain beras sehingga bantuan pangan nonberas kepada masyarakat miskin bisa terealisasi.

Tjuk Eko mengatakan, saat ini Indonesia menghadapi ancaman rawan pangan mengingat jumlah penduduk terus meningkat sehingga lahan pertanian diprediksi terus berkurang.

Badan Ketahanan Pangan saat ini tengah memetakan daerah rawan pangan di Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat pada jangka panjang.

Secara umum ketahanan pangan di Indonesia berada dalam kondisi aman.

"Memang ada sejumlah daerah yang rawan pangan tapi itu bisa diatasi. Dan kita terus memetakan daerah rawan pangan sebagai bentuk antisipasi," kata Tjuk Eko.

Hingga tahun 2012, Badan Ketahanan Pangan telah membantu sekitar 3.000 desa di seluruh Indonesia yang terindikasi rawan pangan dengan jumlah penduduk sekitar 35 juta jiwa.

Menjaga ketahanan pangan bisa dimulai dengan mengurangi konsumsi beras dengan mencari alternatif pangan lainnya. Jangan sampai kita berada dalam kondisi tidak sehat sehingga "diharamkan" makan nasi. (R026)