"Janji Manis" Yang Berujung Penderitaan

id tki

"Janji Manis" Yang Berujung Penderitaan

Damaskus, (antarasulteng.com) - "Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji besar di Dubai, namun ternyata saya tahu-tahu dijual ke Suriah," ucap Karsih binti Rasim dengan mata berkaca-kaca.

Tenaga kerja wanita asal Karawang, Jawa Barat, itu mengaku terpikat dengan salah seorang agen di Oman yang menawarkan gaji besar di Dubai.

Karsih adalah salah satu dari ratusan TKW Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia ke Suriah.

Sejak konflik bersenjata meletus di Suriah, Pemerintah RI menerapkan moratorium pengiriman TKI/penata laksana rumah tangga (PLRT) ke Suriah terhitung mulai tanggal 5 September 2011.

Dengan penerapan moratorium itu, TKI yang dikirim ke Suriah dinyatakan sebagai korban perdagangan manusia (tindak pidana perdagangan orang/TPPO) karena dikirim melalui cara yang tidak prosedural dan ilegal.

KBRI Damaskus telah menangani TPPO sebanyak 153 kasus, dengan rincian per tahun 1 (2012); 26 (2013); 16 (2014); 85 (2015); dan 25 kasus hingga April 2016.

Karsih bekerja di Intizhar, Suriah, selama dua tahun dengan tidak mendapatkan gajinya sebesar 150 dolar Amerika Serikat tiap bulan.

Sebelum bekerja di Suriah, lanjut Karsih, dirinya bekerja di Oman selama dua tahun mulai 2011-2013.

"Setelah kontrak kerja habis, saya mau pulang ke Indonesia. Namun agen menawarkan gaji besar untuk bekerja di Dubai. Ternyata saya malah dikirimkan ke Suriah. Di bandara saya dijemput oleh agen yang ada di Suriah dan saya diajak bertemu majikan baru," ujar dia.

Selama bekerja, Karsih mendapatkan pelecehan seksual dari majikan. Hal tersebut seringkali terjadi saat istri majikan sedang berada di luar.

Selain permasalahan gaji, lanjut dia, perlakuan yang tidak senonoh itu memaksa Karsih untuk kabur dari rumah tuannya.

"Kontrak saya tiga tahun dan akan habis akhir 2016. Tapi aku kabur pada Desember 2015 karena gaji tidak dikasih dan mendapatkan pelecehan seksual dari majikan," kata dia.

Ketika kabur, Karsih mendapatkan bantuan dari tetangga rumah dan diantarkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Damaskus.

"Saya kabur dari rumah majikan, lari ke jalan. Saat itu tetangga rumah yang merupakan warga Suriah mengantarkan saya ke KBRI Damaskus dengan taksi," ujar dia.

Karsih mengungkapkan, warga Suriah itu mengetahui lokasi KBRI Damaskus karena pernah mengantarkan TKW Indonesia yang ingin pulang ke tanah air.

Pendapat serupa diungkapkan oleh Lena Mariana (28), seorang tenaga kerja yang telah bekerja di Suriah selama empat bulan.

"Saya terpikat dengan gaji besar yang ditawarkan oleh agen untuk bekerja di Abu Dhabi," ujar Lena.

Wanita asal Sukabumi itu pertama kali diperkenalkan sponsor asal Cianjur, kemudian dibawa ke Jakarta. Di Jakarta, Lena ditampung di rumah kontrakan bersama dengan tenaga kerja wanita lainnya.

Lena bersama temannya berpindah-pindah dari rumah kontrakan tiap bulannya.

"Tepatnya pada 16 Maret saya diberangkatkan dari Jakarta ke Kuala Lumpur kemudian ditampung selama 10 hari di sana. Kemudian saya diterbangkan ke Aman, Jordania, pada 26 Maret 2015, lalu menggunakan pesawat kecil langsung ke bandara Damaskus. Sampai di sana, saya kemudian ditahan 15 hari oleh pihak imigrasi kemudian dijemput sama agen di Suriah," ujar dia.

Kemudian, Lena diantar ke rumah majikan di Latakia, Suriah.

"Saya bekerja selama empat bulan di sana. Saya tidak betah karena adanya pelecehan seksual oleh majikan dan saya kabur menggunakan taksi," kata dia.  

Hentikan Pengiriman

Pelaksana Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Damaskus Makhya Suminar mengatakan per April 2016, jumlah korban TPPO yang tengah ditampung di shelter dan diperjuangkan oleh KBRI Damaskus sebanyak 18 orang dan diprediksi masih terus bertambah setiap harinya.

"Pengiriman TPPO Di Suriah itu dilakukan oleh Bungawati dan Iyad Masur/Mario di Kuala Lumpur. Jalur reguler: Jakarta-Batam-Kuala Lumpur-Dubai-Abudhabi-Qatar-Oman-Damaskus. Sedangkan jalur baru itu Jakarta-Batam-KL-Istanbul-Beirut-Damaskus. Kemudian, jalur Istanbul Foreign Terorist Fighter (FTF) asal Indonesia yang akan bergabung dengan kelompok teroris di Suriah, seperti ISIS, Jabhat al-Nusra, Jaisy al-Islam, Free Syrian Army (FSA)," ujar Makhya.

Ia mengatakan KBRI Damaskus mengalami kesulitan untuk memulangkan TKW ke Indonesia karena terdapat paspor asli tapi palsu.

"Paspornya asli tapi palsu. Maksudnya, agen TKI yang bernama Iyad Masur di Malaysia membuat penambahan nama sendiri karena untuk masuk ke negara Arab itu minimal dua nama. Misalnya ada TKI namanya Sumiyati, kemudian Iyad menambahkan namanya menjadi Sumiyati binti Maulana," ujar dia.

Di dalam database imigrasi Suriah, lanjutnya, nama yang tercatat itu Maulana.

"Hal tersebut membuat kami kesulitan untuk memulangkan TKW. Ada lima syarat kepulangan TKW yaitu punya paspor, tiket, iqomah (izin tinggal), izin keluar dan menyelesaikan segala permasalahan dan hak-haknya dengan majikan," kata dia.

Selain itu, ada juga paspor yang tidak sesuai dengan KTP yang dimiliki oleh TKI.

"Hal itu terjadi karena paspor dibuatkan langsung oleh agen dan TKI yang mau berangkat itu tidak pernah melengkapi dokumen-dokumennya untuk pengajuan paspor. Dengan kata lain, TKI itu terima beres saja, yang penting kerja di Timur Tengah," ujar dia.

Makhya mengatakan korban TPPO tidak ditempatkan di negara yang dijanjikan, tidak dapat gaji, dianiaya dan dikirim (diperjual-belikan meski tidak sehat jiwa raganya).

"Kita tahu bahwa banyak rakyat Suriah yang mengungsi ke luar negeri akibat konflik bersenjata, sementara perdagangan orang berkedok pengiriman TKI ke negara ini masih terus berlangsung," kata dia.

Makhya mengungkapkan pemerintah Indonesia telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk memulangkan TKW dari negeri berbahaya tersebut. Namun, pengiriman TKI masih terus dilakukan secara ilegal.

"Pemerintah sudah mengeluarkan biaya besar loh untuk repatriasi TKW, tapi perdagangan orang ke Suriah masih terus terjadi," kata dia.

Para TKI, lanjutnya, berangkat tanpa kontrak resmi, prosedur dan keahlian. Akhirnya mereka seringkali dianiaya majikan.

"Ada yang berpenyakit hepatitis, TBC, HIV, penyakit jiwa tapi mereka dipaksa terus bekerja. Dan perlu dicatat mereka tidak dibayar oleh majikannya," kata dia.

Untuk mencegah perdagangan manusia di Suriah, lanjutnya, KBRI Damaskus mengirimkan nota verbal, bertemu dengan Kemenlu dan Kemenaker Suriah serta bekerja sama dengan dengan Direktorat Human Trafficking Kepolisian Suriah.
    
Asimetri Kepentingan

Kepala Pelaksana Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya (Pensosbud) KBRI Damaskus, AM Sidqi mengatakan Indonesia secara sepihak menyatakan moratorium dan penghentian TKI ke negara Suriah.

Karena itu, para TKI yang dikirim pascamoratorium itu merupakan korban perdagangan manusia.

"Namun, pemerintah Suriah masih menganggap korban TPPO itu tenaga kerja resmi. Karena mereka dikirim dengan paspor asli, dibuatkan visa, serta izin tinggal oleh agen maupun majikannya di Suriah," ujar dia.

Asimetri kepentingan disebabkan belum terjadi kesepakatan antara kedua negara dalam bentuk perjanjian internasional terkait pengiriman tenaga kerja.

"Bagi Suriah, Indonesia sebagai salah satu dari enam negara pengirim pembantu rumah tangga (Nigeria, Indonesia, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, dan Vietnam) berdasarkan Peraturan Perdana Menteri Nomor 81/2006 tentang Pendirian Agen Tenaga Kerja. Peraturan dimaksud dipertegas dengan Surat Menteri Dalam Negeri Suriah Nomor /500/Q.N tertanggal 4 Maret 2012," kata dia.

Akibat asimetri kepentingan itu, pemerintah Suriah tidak mau menerbitkan izin keluar (exit permit) bagi para korban TPPO sebelum masa kontraknya habis.

"Kami mengalami kesulitan untuk memulangkan TKI dari Suriah akibat asimetri kepentingan itu," ujar dia.

Sejatinya, lanjut Sidqi, perdagangan manusia bersumber dari tanah air, sehingga diperlukan ketegasan dalam penegakan hukum di dalam negeri.

Selain itu, pemerintah harus melakukan pertemuan tingkat tinggi dengan Suriah untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar negara pengirim TKI di negara yang tersebut.

"Dengan karakteristik perwakilan RI di Suriah penanganan isu TPPO harus dijadikan prioritas," kata dia.