Gubernur Akui Penanganan Poso Terhambat Masalah Anggaran

id longki

Gubernur Akui Penanganan Poso Terhambat Masalah Anggaran

Gubernur Sulteng Longki Djanggola (ANTARA FOTO/Basri Marzuki )

Palu, (antarasulteng.com) - Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola mengakui bahwa penanganan pascakonflik di Kabupaten Poso masih terkendala oleh terbatasnya anggaran.

"Untuk memenuhi tuntutan-tuntunan masyarakat dan persoalan hak keperdataan pascadeklarasi Malino, kami telah berusaha melalui APBN, namun karena keterbatasan anggaran, tuntutan-tuntutan itu belum bisa dipenuhi secara memadai," katanya di Palu, Kamis, terkait kunjungan Kepala BNPT Suhardi Alius ke Palu sejak Rabu.

Gubernur mengakui bahwa salah satu kelemahan dalam penanganan pascakonflik itu Poso adalah tidak adanya dukungan anggaran dari pemerintah yang lalu.

"Saya sudah curhat kepada Kepala BNPT terkait perlu dibuatnya Instruksi Presiden (Inpres) tentang rekonsiliasi dan rehabilitasi," ungkap Longki.

Sementara itu, Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius saat bertatap muka dengan gubernur dan jajaran pelaksana Operasi Tinombala Poso menekankan bahwa persoalan yang lalu jangan diungkit-ungkit kembali.

"Sekarang bagaimana kita mengemas supaya kita hidup berdampingan dengan baik karena sudah sembuh luka ini," ujarnya.

Suhardi menerangkan bahwa ke depan, dalam rancangan undang-undang terorisme yang sedang dibahas oleh Pansus DPR RI, akan mengatur tiga hal pokok yakni pencegahan, penindakan, termasuk dalam rehabilitasi dan kompensasi.

"Ini akan masuk di undang-undang, yang artinya semangatnya telah ada saat ini," ujarnya.

Sebelumnya Lembaga Pengembangan Studi HAM (LPS-HAM) mendesak pemerintah daerah untuk melakukan pemulihan ekonomi bagi sejumlah wilayah terdampak aksi teror di Kabupaten Poso.

"Inti permasalahan di Poso saat ini hanya berputar pada persoalan ekonomi saja," kata Direktur LPS-HAM, Affandi di Palu, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, pemerintah harus membuka kembali dokumen Deklarasi Malino yang disepakati 14 tahun lalu.

"Dua poin dalam deklarasi tersebut tidak pernah dilaksanakan sama sekali," ungkapnya.

Dua dari sepuluh poin deklarasi yakni semua hak-hak dan kepemilikan perdata harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung. Kemudian mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.

"Dua poin tersebut bersentuhan dengan perekonomian dan kehidupan masyarakat," ujarnya.

Bagi Affandi, warga korban konflik poso yang telah mengungsi tidak dapat kembali ke daerah asalnya karena trauma. Sementara di daerah asalnya masyarakat tersebut masih memiliki asset-aset yang menjadi sumber penghidupan.

"Di daerah pengungsian, mereka tidak memiliki apa-apa. Sehingga ini harusnya menjadi perhatian pemerintah," katanya.

Dari segi pemulihan ekonomi, seharusnya masyarakat bekas konflik yang tidak dapat kembali ke daerahnya dan tidak mendapatkan hak-hak keperdataannya, dapat menjadi perhatian khusus pemerintah.

"Jadi bukan soal bagaimana kita menjaga keamanan dan ketertiban bersama aparat keamanan di Poso, tapi bagaimana membangun ekonomi masyarakat sehingga kesenjangan sosial dan ekonomi setiap daerah tidak terjadi lagi," tutup Affandi.