Aliansi petani Banggai tuntut pencabutan tiga HGU di Banggai

id Banggai

Aliansi petani Banggai tuntut pencabutan tiga HGU di Banggai

Puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi untuk petani Banggai mendatangani Kantor BPN Sulteng, untuk mencabut tiga izin HGU di Banggai, Senin (5/12). (antarasulteng.com/Fauzi)

"Tiga HGU yang kami tuntut untuk dicabut secepatnya yakni HGU PT Anugerah Saritama Abadi (ASA) di Desa Bahotokong, Kecamatan Bunta, HGU PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di dataran Toili dan HGU PT Sawindo Cemerlang di dataran Batui," kata Affandi.
Palu (antarasulteng.com) - Puluhan orang yang tergabung dalam Aliansi untuk petani Banggai, menuntut pencabutan tiga izin hak guna usaha (HGU) di Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Tuntutan itu disampaikan dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulteng yang kemudian dilanjutkan ke kantor Komisaris Daerah Hak Asasi Manusia (Komda HAM) Sulteng dan Polda Sulteng, Senin.

Dalam orasinya, Koordinator Aliansi Moh. Affandy mengatakan Kabupaten Banggai hingga kini memiliki berbagai tunggakan permasalahan tanah yang belum selesai dan berujung pada kriminalisasi terhadap petani setempat.

"Tiga HGU yang kami tuntut untuk dicabut secepatnya yakni HGU PT Anugerah Saritama Abadi (ASA) di Desa Bahotokong, Kecamatan Bunta, HGU PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di dataran Toili dan HGU PT Sawindo Cemerlang di dataran Batui," katanya.

Affandi menjelaskan PT ASA dalam sejarahnya merupakan tanah bekas onderneming atau hak barat, telah ditelantarkan sejak tanggal 24 September 1980, karena pemilik lahan sebelumnya TK Mandagi dan Rudi Raharja tidak memperpanjang lagi HGU-nya kepada pemerintah.

"Secara hukum tanah itu kembali dikuasai oleh Negara," ujarnya.

Kemudian pada tahun 1982, sekitar 170 petani di Desa Bahotokong membuka hutan di bekas onderneming itu dengan menanam komoditi palawija dan kakao. Beberapa waktu kemudian, petani mengajukan permohonan hak milik kepada Negara, melalui BPN setempat hingga empat kali berturut-turut, tetapi tidak ditanggapi sama sekali.

"Upaya masyarakat untuk meminta pengakuan atas tanah itu dari pemerintah sudah dilakukan sejak 1984 hingga 1997," ungkap Affandi yang juga Direktur LPS HAM itu.

Tetapi pemerintah, khususnya BPN Luwuk, kata dia, pada 1997, malah menerbitkan sertifikat HGU No. 04/1997 untuk lahan eks onderneming atas nama Rudi Raharja seluas 110 ha kepada kepada PT Saritama Anugerah Abadi milik Theo Nayoan.

Kemudian sertifikat HGU atas nama TK Mandagi seluas 184 ha diberikan kepada para pekerjanya dengan rincian, Tahili Nusi sebanyak 20 ha, No.07/1997, Hamid Yusuf sebanyak 11 ha, No.04/1997, Mirwan Malo sebanyak 20 ha, No.06/1997 serta Muchtar Mala sebanyak 23 ha, No. 08/1997.

"Belum termasuk Sertifikat HGU konsesi 2 seluas 12 ha yang diberikan kepada Neltje Nayoan anak perempuan Theo," jelas Affandi.

Akibat dari konflik berkepanjangan itu, kriminalisasi juga ikut terjadi di dalamnya, terbukti sejak tahun 2000 hingga 2016, tercatat 23 petani ditangkap oleh aparat hukum setempat.

"Kasus terakhir penangkapan petani Desa Bohotokong atas nama Apet Madili (40) oleh aparat Polsek Bunta pada 30 November 2016," katanya.

Aliansi untuk petani Banggai terdiri atas sejumlah lembaga swadaya masyarakat di antaranya LMND, Libu Perempuan, LPS HAM, Perkumpulan KARSA Sulteng, LPA Awam Green, IPPMD, STN, KPK-ST, BRWA Sulteng, Himasos Untad, Pokja RA Sulteng, KPA Sulteng, Perkumpulan Bantaya, YPR, YMP, Walhi Sulteng, BEM Fisip Untad, JATAM, Perkumpulan Evergreen Indonesia dan Kontras Sulawesi. (FZI)