Saldiansyah, doktor rumput laut pertama dari Universitas Tadulako

id DKP

Saldiansyah, doktor rumput laut pertama dari Universitas Tadulako

Dr. Saldiansyah E. Sanusi, MP menyalami para penguji usai mempertahankan disertasinya dan meraih nilai sangat memuaskan di Untad Palu, Rabu (14/12). (Antarasulteng.com/istimewa)

Saldiansyah: agribisnis rumput laut di Parigi Moutong belum berkelanjutan.
Palu (antarasulteng.com) - Lulus dengan predikat sangat memuaskan, Saldiansyah Effendy Sanusi, MP akhirnya mencatatkan diri sebagai doktor pertama dari Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (Untad) Palu, yang mengkaji dan membahas secara mendalam masalah pengembangan agribisnis rumput laut dalam disertasinya.

Saldy, panggilan akrabnya, berhasil mempertahankan disertasi berjudul Optimasi Model Pengelolaan Agribisnis Berkelanjutan Rumput Laut Kappaphycus Alvarezii di Kabupaten Parigi Moutong di depan delapan orang penguji dalam ujian terbuka di ruang media center Kampus Bumi Tondo, Untad Palu, Rabu (14/12).

Kepala Sub Bagian Program dan Perencanaan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng ini menghadapi tim penguji yang dipimpin Prof Ambo Tuwo, Guru Besar Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Beberapa penguji lainnya adalah Prof Asriyani Hasanuddin, Prof Made Antara, DR Handayani, DR Max Nur Alam, DR Jusri Nilawati, DR Fadli Tantu dan DR Alimudin Laopo.

Turut menyaksikan sidang ujian terbuka tersebut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng DR Ir H Hasanuddin Atjo MP serta sejumlah pejabat dan staf di Dinas KP Sulteng. 

Dalam disertasinya, alumnus S1 Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang tahun 1994 itu mengemukakan tujuannya meneliti agribisnis rumput laut di Parimo adalah untuk membangun model pengelolaan agribisnis berkelanjutan rumput laut kappaphycus alvarezii di Kabupaten Parigi Moutong berdasarkan zona produksi, logistik, pengolahan dan pemasaran.'

Sedangkan tujuan khususnya adalah menganalisis potensi volume produksi berdasarkan analisis kesesuaian lahan dan daya dukung perairan; menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan agribisnis rumput laut yang sedang dilakukan saat ini pada zona produksi, logistik serta pengolahan dan pemasaran serta menganalisis optimasi model pengelolaan rantai pasok rumput laut.

Menurut ayah dua putri dari istri Dra Aritatriana, MSi yang juga aparatur sipil negara (ASN) di Kantor Gubernur Sulteng itu, agribisnis rumput laut di Parigi Moutong belum berkelanjutan karena pembudidaya belum mendapatkan informasi kesesuaian lahan, daya dukung perairan seta bibit unggul. 

Pembudidaya belum mempunyai pengetahuan tentang cara budidaya sesuai anjuran, belum ada industri pengolahan yang menyerap hasil produksi secara konsisten, serta lemahnya akses permodalan, tata niaga dan pemasaran.

Penelitian Saldy yang alumnus S2 sistem pertanian kosentrasi perikanan di Universitas Hasanuddin tahun 2004 itu menyimpulkan bahwa potensi volume produksi rumput laut kappaphycus alvarezii di Kabupaten Parigi Moutong sebesar 93.194,14 ton kering/musim tanam.

Indeks dan status keberlanjutan agribisnis rumput laut kappaphycus alvarezii masih rendah. Dari sisi zona produksi, indeks = 26,72% atau kurang berkelanjutan; zona logistik, indeks = 26,86% atau kurang berkelanjutan dan zona pengolahan dan pemasaran, indeks = 31,09% atau kurang berkelanjutan. 

Ia memberikan saran bahwa untuk optimasi sistem agrobisnis rumput laut di Parimo, beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah; pada zona produksi yakni penetapan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RWP3K), termasuk zonasi rinci areal produksi rumput laut kappaphycus alvarezii, pemberdayaan para pembudidaya rumput laut untuk meningkatkan modal sosial dan stimulasi sarana prasarana operasional budidaya untuk peningkatan pemanfaatan perairan.

Pada zona logistik diperlukan peningkatan kemampuan dan wawasan para pelaku usaha, advokasi dan fasilitasi informasi pasar dan teknologi dalam pengelolaan usaha; dan (3) regulasi yang kondusif untuk menurunkan biaya transportasi.

Sedangkan pada zona Pada zona pengolahan dan pemasaran perlunya upaya diversifikasi jenis produk nonhidrokoloid, peningkatan konsumsi rumput laut dalam negeri seta optimalisasi gudang melalui mekanisme resi gudang.

Pengambil kebijakan, kata Saldy, perlu merancang model terintegrasi, mulai zona produksi, logistik hingga pengolahan sehingga dapat menentukan skenario yang paling optimal;

"Perlu dilakukan riset yang bertujuan merancang model terintegrasi pada permintaan bahan baku antara 45.000 hingga 90.000 ton melalui efisiensi biaya pada penanganan di depo/gudang, transportasi dari kecamatan produsen ke gudang dan transportasi dari gudang ke industri pengolahan," ujarnya.