Ratusan hektar sawah di Parigi Moutong jadi kebun nilam

id parimo

Ratusan hektar sawah di Parigi Moutong jadi kebun nilam

Anggota DPRD Kabupaten Parigi Moutong, Adyana Wirawan saat mengunjungi kebun nilam. (FOTO: FB) (antarasulteng.com/)

"Pembeli nilam ini langsung dari Surabaya. Dalam seliter petani bisa memperoleh harga sebesar Rp 400 ribu sama dengan 50 kilogram beras," ungkapnya
Palu (antarasulteng.com) - Anggota DPRD Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah Adyana Wirawan mengatakan anjloknya harga beras memaksa petani di daerah itu melakukan alih fungsi ratusan hektare areal persawahan menjadi penangkaran budidaya tanamam nilam.

"Salah satu penyebab akibat kebijakan pemerintah daerah yang melarang penjualan beras keluar daerah, ditengah besarnya ongkos produksi yang dikeluarkan petani," kata anggota Dewan Adyana Wirawan dihubungi dari Palu, Jumat.

Ia mengatakan, gara-gara beras di Sulteng tidak bisa keluar daerah, sehingga terjadi penurunan harga beras secara besar-besaran dari Rp8.800 per kilogram menurun menjadi Rp7.100 perkilogram.

Menurut legislator Partai Demokrat itu, salah satu Desa yang telah melakukan alih fungsi itu adalah Desa Kayu Agung, Kecamatan Mepanga dengan luasan sekitar 200 hektare sawah.

"Ngapain pak, kami tanam padi setelah jadi beras tidak ada harganya. Bahkan kami petani, masih punya utang di tempat-temapat pembelian obat," tutur Adyana yang menirukan pernyataan petani.

Bagi petani, kata dia, anjoknya harga beras ditengah tingginya ongkos produksi membuat mereka rugi, baik secara materi maupun tenaga atau tidak dapat menikmati hasil penen sebagaimana diharapkan.

"Dengan ongkos kerja yang begitu tinggi. Artinya, petani sama sekali tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari hasil usahanya. Contohnya ongkos kerja sepuluh mereka dapat hasil sepuluh," ujarnya.

Berdasarkan penyampaian petani, kata Adyana, tanaman nilam saat ini tengah digandrungi oleh petani. Selain ongkos produksi yang murah, petani juga mudah menjual hasil panennya dengan harga yang terbilang tinggi.

"Pembeli nilam ini langsung dari Surabaya. Dalam seliter petani bisa memperoleh harga sebesar Rp 400 ribu sama dengan 50 kilogram beras," ungkapnya.

Adyana mengkhawatirkan, jika Pemerintah tidak serius dalam mengantisipasi anjloknya harga beras tersebut, maka satu tahun kedepan Kabupaten Parimo tidak lagi menjadi lumbung beras di Sulteng, melainkan lumbung tanaman nilam.

"Kondisi ini sangat mengancam keberlangsungan petani sawah. Kalau memang pemerintah tidak memperhatikan harga jual beras, sebaiknya kita impor saja, tidak ada masalah," tutup Adyana.

Pihaknya berharap, ada langkah kongkrit dari Pemerintah Daerah (Pemda) setempat melalui dinas terkait, untuk mengatasi anjloknya harga beras.

"Saya berharap Pemda melalui Dinas Pertanian dan Perternakan (Distanak) Parimo, turun tangan dalam menjamin kenaikan harga beras sehingga petani lebih bergairah dalam mengelolah sawahnya," tutup Adyana. (FZI)