Pemerintah ancam evaluasi tunjangan profesor yang tak produktif

id nasir

Pemerintah ancam evaluasi tunjangan profesor yang tak produktif

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A )

Semarang (antarasulteng.com) - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menegaskan tunjangan profesor yang tidak produktif menerbitkan dan membuat publikasi internasional bakal dievaluasi.

"Semua guru besar di 2017 setelah menikmati tunjangan sertifikasi, tunjangan kehormatan, harus melakukan publikasi (karya ilmiah internasional)," katanya, Selasa, usai peluncuran Universitas Diponegoro sebagai perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) di Gedung Prof Soedarto Undip, Tembalang, Semarang.

Menurut Nasir, profesor yang tidak membuat publikasi internasional dalam setahun akan dievaluasi dan dipertimbangkan kelayakannya untuk menerima tunjangan kehormatan.

"Kami akan melakukan betul (evaluasi tunjangan guru besar). Publikasi ilmiah tingkat internasional merupakan instrumen penting, apalagi untuk perguruan tinggi yang jadi PTN-BH," kata dia.

Kemenristek Dikti, kata dia, belum lama ini mengundang profesor diaspora, yakni profesor di perguruan tinggi seluruh dunia, seperti AS, Inggris, Jerman, Prancis, dan Jepang, yang berasal dari Indonesia.

"Saya tanya salah satu profesor, ternyata, bisa 30 publikasi setahun. Di Indonesia, ada profesor yang setiap tahun bisa 4-6 publikasi/tahun, namun ada yang selama empat tahun tidak publikasi," kata Nasir.

Diia terus mendorong perguruan tinggi di Indonesia untuk menggenjot publikasi internasional, setidaknya setiap fakultas harus ditarget membuat 20-30 karya ilmiah internasional.

"Ada hitungannya. Pada 2014, publikasi ilmiah kita di angka 4.000 karya, pada 2015 menjadi 5.450 karya, dan pada 2016 ditargetkan mampu menghasilkan publikasi sebanyak 6.300 karya," katanya.

Berdasarkan data per 22 Desember 2016, kata dia, publikasi ilmiah yang dihasilkan ternyata meningkat menjadi 9.475, namun ternyata masih kalah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Malaysia misalnya, mampu mempublikasi sekitar 24 ribu karya per tahun, disusul Singapura sekitar 17 ribu karya per tahun, kemudian Thailand 12 ribuan karya.

"Sementara publikasi di Indonesia hanya di kisaran 9.500 karya. Padahal, Indonesia ini punya 6.000-an guru besar dan sekitar 31 ribu lektor kepala (jabatan akademik)," kata Nasir.

Jika seluruh guru besar diwajibkan mempublikasikan minimal satu karya ilmiahnya dalam setahun, berarti akan dihasilkan 6.000 karya.

"Belum lagi publikasi dari kalangan lektor kepala 50 persennya saja, kami catat ada di angka 18.500 karya. Ini ditambah dengan 9.500 karya sehingga bisa dihasilkan 28 ribu karya," kata Nasir.