Revolusi Biru (3): Wajah kemiskinan daerah pesisir

id parni, hadi

Revolusi Biru (3): Wajah kemiskinan daerah pesisir

Penulis bersama Uwak Hanayah. (ist)

Jakarta (antarasulteng.com) - Di balik yang serba menjanjikan , laut bisa menjadi sumber bencana, terutama akibat kerakusan dan kelalaian manusia.

Contohnya: "over fishing" (terlalu banyak menguras ikan) dan polusi perairan karena pembuangan limbah industri dari daratan dan tumpahan minyak dari kapal tanker yang kandas dan bocor.

Akibat kurang peduli, salah urus dan korupsi, laut Indonesia yang sangat kaya dan indah pantainya juga menampilkan kemiskinan khas daerah pesisir yang kotor, kumuh, dan dihuni oleh kaum dhuafa. 

Itu daerah pesisir yang belum dijamah pemodal atau developer yang gencar membangun "water front cities" atau kota-kota baru yang menghadap laut sebagai hunian mewah yang hanya mungkin dijangkau oleh "the haves" atau orang-orang kaya. 

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pantai terpanjang di dunia. Bayangkan, kalau semua daerah pantai dikuasai oleh orang-orang kaya,maka kaum miskin pesisir akan terpaksa eksodus ke pedalaman karena kalah dengan kaum pendatang.

Kaum miskin yang terpinggirkan, karena tergiur rezeki yang ditawarkan oleh gemerlap "water front cities", karena perhitungan ongkos, bisa juga tidak mau pergi jauh-jauh. Mereka membangun tempat tinggal di atas rawa-rawa terbengkalai yang dulu disebut "tempat jin buang anak", bantaran sungai atau di atas perahu di sungai.

Sementara daerah pantai menjadi "water front cities" yang megah dan mewah, penduduk asli setempat kebagian peran berdiri paling depan ("in front") sebagai petugas keamanan (satpam), petugas front office, sopir (driver) dan tukang kebun. 

Ada juga yang mendapat peran di bagian belakang, yakni pembantu rumah tangga, pengasuh dan pengantar anak sekolah yang kini bahasa kerennya "baby sitter", alih-alih bahasa jaman dulu "babu". 

Kalau pesisir dianggap masih kurang luas, laut pun, terutama yang terletak di wilayah teluk diurug. Bahasa populernya pengurukan laut itu "reklamasi". Singapura adalah contoh negara jiran yang memperluas wilayah daratannya yang kecil dan terbatas, dengan reklamasi. 

Dalam upaya menguruk laut, Singapura mengimpor pasir dari wilayah RI terdekatnya. Impor pasir ini konon juga termasuk bisnis yang menggiurkan banyak pihak.

Untuk menguruk laut di wilayah utara Jakarta juga perlu tanah banyak yang diangkut dari wilayah tetangga Jakarta. Seorang pejabat sekitar Jakarta pernah mengeluh: Jakarta boleh membangun, tapi jangan merusak lingkungan wilayah lain. Apa pasal? 

Gunung dan bukit di wilayah sekitar Jakarta digempur, tanahnya diangkut dengan armada truk, jumlahnya bisa ratusan, beroperasi pada malam hari. Dampaknya: gunung dan bukit gundul, sumber air mengering, sungai mendangkal, bebatuan dan pasirnya diangkut, sumber ikan menghilang, hujan sedikit banjir bandang dan jalan-jalan rusak berat karena dilalui hilir-mudik truk besar.


Developer incar laut

Para developer sekarang banyak mengincar daerah pantai dengan laut dangkal untuk direklamasi. Alasannya, mencari lahan daratan semakin sulit karena terbatasnya wilayah dan mahal serta prosesnya berbeli-belit, terutama untuk mengurus sertifikat tanah dengan penduduk dan urusan perijinan lainnya. 

Reklamasi laut lebih mudah karena pemilik lahan adalah pemerintah, baik pusat maupun daerah. Urusan perizinan juga lebih mudah karena berurusan langsung dengan pemerintah, pemilik, sekaligus regulator. Apalagi, di zaman korupsi dan pungli yang belum kunjung berhenti kini. 

Memang, harus diakui, reklamasi dan pembangunan "water front cities" dapat mengakibatkan roda ekonomi berputar dan menciptakan lapangan kerja baru. Tapi, dampak kerusakan jangka panjangnya perlu dipertimbangkan masak-masak. 

Beda pendapat tentang reklamasi laut bisa sebagai tanda demokrasi. Yang penting tetap diingat, Indonesia ini titipan untuk generasi penerus. Mari kita wariskan Indonesia yang lebih baik. 


Peranan Media Massa

Media massa itu bak "senjata sapu jagad". Maksudnya, semua lembaga negara, pemerintah, perusahaan swasta, lembaga sosial, masyarakat, dan setiap orang dari berbagai profesi, apalagi politisi, memerlukan media massa untuk menyalurkan aspirasi guna mencapai tujaannya. 

Tidak terkecuali, tentu saja, untuk menyukseskan revolusi biru, media massa mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis. 

Media massa, termasuk media sosial, punya kewajiban moral untuk mengkomunikasikan segala hal yang berkaitan dengan laut. Wartawan atau pelapor perlu menguasai seluk-beluk tentang potensi dan masalah kelautan. 

Untuk itu perlu pendidikan dan latihan atau "workshop" khusus untuk wartawan yang meliput dan menyunting tulisan dan gambar tentang laut.

Tentu, perlu buku panduan tentang peliputan bidang maritim yang ditulis oleh ahlinya. Harus diakui, kemaritiman belum menjadi menu utama pelaporan media massa Indonesia. Laut baru menjadi berita umumnya jika terjadi kecelakaaan, kriminalitas, dan terkait isu politik, terutama yang berpotensi menyulut konflik politik, diplomasi, dan konflik bersenjata.

Sampai sejauh ini belum pernah tercatat ada media massa yang berkhidmat khusus di bidang kemaritiman dan tercatat berjaya di Indonesia.

Laut menjadi isu pinggiran, terdesak dengan berbagai isu di daratan. Orang kalau bosan berwisata di daratan, termasuk ke gunung, hutan dan sawah, kemudian menoleh ke pantai dan lautan sebagai selingan atau variasi belaka. 

Demikian pula jika bosan menu yang bahan mentahnya berasal dari daratan, orang menoleh ke kuliner laut: seafood (makanan laut). 

Wartawan dan media massa tempatnya berkarya adalah pengemban profesi mulia sebagai pewaris tugas kenabian untuk menyampaikan kabar gembira dan pemberi peringatan (Al Kahfi, QS 18:56). 

Mestinya, karena isu kelautan menyangkut hajat hidup dan hari depan orang banyak, maka wajib hukumnya wartawan peduli soal kemaritiman.

Teknik atau cara dan gaya penyajian laporan tentang bidang kemaritiman bisa mengacu pada tujuh fungsi jurnalisme profetik (kenabian), yakni 1. Memberi tahu, 2. Mendidik, 3, Menghibur, 4. Mengadvokasi, 5. Mencerahkan, 6. Menginspirasi dan 7. Memberdayakan.

Wartawan dan media massa wajib mengungkap seluruh seluk beluk bidang kemaritiman secara adil, berimbang, cerdas, obyektif, dan elegan dengan keberpihakan yang jelas kepada rakyat banyak, baik sekarang maupun yang akan datang.

Jurnalisme Profetik kiranya dapat memandu wartawan dan media massa dalam turut memandu jalannya Revolusi Biru untuk kejayaan Indonesia Raya yang adil dan sejahtera bagi seluruh rakyat.


*Penulis, Wartawan sejak 1973, pernah menjadi Pemimpin Umum/Pemred Koran Republika, Pemimpin Umum (sekarang Dirut)/Pemred Lembaga Kantor Berita ANTARA, Sekjen PWI, Sekjen Organisasi Kantor-kantor Berita Asia Pasifik (OANA), Dirut RRI dan Ketua Satgas Pramuka Peduli/Waka Kwarnas Gerakan Pramuka, Ketua KELK (Komisi Evaluasi Lingkungan Kota) Provinsi DKI. Kini: Ketua Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) bidang Relawan dan Peduli Bencana, Ketua Umum IRSI (Ikatan Relawan Sosial Indonesia), pegiat kepramukaan dan aktivis sosbudling (sosial, budaya dan lingkungan) serta pemain Kethoprak (sandiwara tradisional Jawa). Penulis sejumlah buku, termasuk Jurnalisme Profetik: Mengemban Tugas Kenabian dan kolumnis. 

(A015/A011)