Sulteng Segera Miliki Perda Pengelolaan Ruang Laut

id DKP

Sulteng Segera Miliki Perda Pengelolaan Ruang Laut

Kadis KP Sulteng Hasanuddin Atjo (kedua kiri) memberikan penjelasan tentang RZWP3K Sulteng yang akan segera menjadi Perda Pengelolaan Ruang Laut di Hotel Santika Palu, Kamis (27/4) (Antarasulteng.com/Rolex Malaha)

Perairan laut Sulteng memiliki potensi penangkapan ikan sekitar 2,1 juta ton/tahun dan yang dimanfaatkan rata-rata sekitar 70 persen.
Palu (Antarasulteng.com) - Provinsi Sulawesi Tengah diharapkan telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pegelolaan Ruang Laut pada 2017 ini, sesuai amanat UU No.27 Tahun 2007 tentang Pegelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terkecil.

"UU 27 Tahun 2007 mengamanatkan semua provinsi sudah memiliki perda pengelolaan ruang laut pada 2017. Kita berharap Sulteng akan menjadi daerah kedua yang memiliki perda ini setelah Sulawesi Utara," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP di Palu, Kamis.

Dalam konsultasi publik tentang penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Sulteng, Hasanuddin Atjo mengemukakan bahwa Sulteng tinggal menyisakan dua langkah lagi maka perda ini akan terwujud.

"Proses penyusunan perda pengelolaan ruang laut ini menempuh 33 langkah, kita sudah berda pada langkah ke-31 yakni diskusi publik penyusunan dokumen antara untuk persiapan penyusunan dokumen final," ujarnya.

Hasil diskusi publik ini, kata Atjo, akan dibawa ke Kementeran KP dalam bentuk rancangan perda (ranperda) untuk meminta tanggapan dan saran Menteri KP serta intansi lintas sektor tingkat pusat, dan setelah itu, dokumennya diajukan ke DPRD Sulteng untuk dibahas menjadi perda.

"Kami berharap pada Juli 2017 nanti, ranperda pengelolaan ruang laut Sulteng sudah diajukan ke DPRD, sehingga sebelum akgir 2017, ranperda ini sudah bisa menjadi perda," katanya pada diskusi publik yang diikuti 100-an peserta yakni pejabat eselon II dan III lintas sektor terkait, pelaku usaha terkait kelautan, nelayan, LSM, TNI, Polri, dan pers itu.

Sedangkan Wakil Ketua DPRD Sulteng Akram Kamaruddin yang hadir  pada diskusi itu mengatakan DPRD Sulteng siap mendukung percepatan terwujudnya perda pengelolaan wilayah laut di provinsi karena sangat dibutuhkan untuk penerbitan izin-izin investasi untuk berbagai kepentingan.

Sementara Yanelis Prasenja, SPi,MSi dari Direktorat Jenderal Pemanfaatan Ruang Laut KKP mengapresiasi Sulteng yang dinilai tanggap dan serius menggarap Ranperda Pengelolaan Ruang Laut, karena dari 34 provinsi di Indonesia, baru satu provinsi yang sudah memiliki perda ini akni Sulawesi Utara.

"Kami berharap dan optimistis, Sulteng akan menjadi daerah kedua setelah Sulut," ujarnya.

Terkaya di Sulawesi

Kadis KP Sulteng Hasanuddin Atjo mengatakan, Sulteng yang memiliki garis pantai 4.013 kilometer dan 1.402 pulau merupakan kawan laut terluas dan terkaya di Sulawesi.

"Karena itu, perda pengelolaan ruang laut ini mendesak diterbitkan agar kekayaan laut ini bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan ketahanan pangan, energi dan juga pariwisata," katanya.

Menurut Atjo, perda ini nantinya akan menjadi acuan dalam penerbitan izin-izin pemanfaatan ruang laut baik untuk penangkapan ikan, pertambangan, transportasi, pariwisata, konservasi serta pertahanan dan keamanan.

Rancangan perda pemanfaatan ruang laut ini dibagi dalam empat alokasi ruang yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu dan alur laut.

Perairan laut Sulawesi Tengah dibagi dalam empat Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yakni WPP 713 Selat Makassar yang memiliki potensi sumber daya ikan 821.280 ton/tahun dan yang dimanfaatkan sekitar 71 persen.

WPP 715 Telok Tomini memiliki potensi sumber daya ikan 504.662 ton/tahun dan yang dimanfaatkan sudah mencapai 95 persen. WPP 716 Laut Sulawesi dengan potensi 383.011 ton/tahun dengan pemanfaatan 65 persen dan WPP Laut Banda dan Teluk Tolo dengan potensi 344.856 ton/tahun dan pemanfaatan 54 persen.

Pada 2015, Sulteng mencatat hasil penangkapan ikan di laut sekitar 280.000 ton, namun produksi yang tidak tercatat karena nelayan menjualnya langsung kepada pembeli di tengah laut akibat minimnya sarana dan prasarana pendaratan ikan diperkirakan cukup besar.