Gubernur Sulteng didesak atur kuota ekspor kelapa biji

id kelapa

Gubernur Sulteng didesak atur kuota ekspor kelapa biji

Amrizal: kuota ekspor kelapa biji seharusnya diberikan setelah seluruh kebutuhan industri di daerah terpenuhi.
Palu (Antarasulteng.com) - Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk menetapkan kuota ekspor kelapa mentah guna melindungi industri pengolahan kelapa yang sedang tumbuh di daerah ini.

"Ekspor kelapa mentah memang baik untuk kepentingan petani kelapa, tetapi kalau pemprov berkomitmen terhadap program hilirisasi industri, kuota ekspor kelapa mentah harus diatur," kata Wakil Ketua HIPKI Amrizal Idroes yang dihubungi melalui telepon genggamnya, Jumat.

Ia diminta tanggapannya tentang ekspor langsung kelapa butiran yang sedang gencar dilakukan pengusaha tertentu dari Kota Palu ke Thailand. Dalam dua bulan terakhir, sudah sekitar 100 theuss kontainer kelapa butir dikirim ke Thailand.

Menurut Amrizal, kalau ekspor kelapa segar ini tidak dikendalikan, pasti akan membuat industri pengolahan sulit bertumbuh karena akan kesulitan bahan baku. Mereka tidak akan bisa bersaing bila kran ekspor kelapa mentah dibuka terlalu lebar.

"Ingat lho, industri pengolahan kelapa sedang tumbuh di Sulteng. Saat ini saja sudah ada tiga industri kepala parut kering yang seluruh hasilnya juga diekspor. Belum lagi industri minyak kelapa (CCO), kopra, arang tempung, air kelapa dan hasil kelapa lainnya," katanya.

Jalan keluar yang perlu ditempuh Pemprov Sulteng, menurut Amrizal, adalah mengatur kuota. Artinya, pemprov harus mengidentifikasi berapa kebutuhan kelapa dari seluruh industri pengolahan dan setelah kebutuhan industri itu terpenuhi, barulah ekspor kelapa biji dizinkan.

Ia juga meminta Pemprov Sulteng membatasi pelaku ekspor kelapa butiran seperti itu, jangan terlalu bebas, siapa saja mau ekspor padahal mereka mungkin pengusaha yang belum terdaftar dan tidak membayar pajak.

Menurut Amrizal, meskipun belum ada larangan ekspor kelapa butiran (mentah), namun pemerintah daerah penghasil kelapa di Indonesia harus mendukung program pemerintah pusat yang menekankan hilirisasi industri komotiditas strategis di sektor pertanian dalam arti luas.

Kalau mengekspor kelapa butiran terus dibuka, katanya, maka nilai tambah akan dinikmati negara tujuan yang akan memanfaatkan tempurung, daging dan air kelapa, sementara petani hanya menikmati harga kelapa biji yang hanya sekitar Rp2.300 sampai Rp2.500/butir.

"Padahal, biaya mengembangkan budi daya kelapa itu diambil dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat Indonesia," ujarnya.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulteng Abubakar Almahdali pada pelepasan ekspor langsung kelapa butir dari Pelabuhan Pantoloan ke Thailand pada 16 April 2017 mengakui bahwa ekspor kelapa butir ini membuat sejumlah pengusaha industri pengolahan kelapa `menangis` karena suplai bahan mentah untuk industri mereka terancam.

Tapi, katanya, kalangan industri tidak perlu khawatir karena saat ini produksi kelapa di Sulawesi Tengah cukup besar.

"Saat ini kami memiliki areal perkebunan kelapa seluas 214.000 ha dengan produksi 189.570 ton per tahun, sedangkan kelapa segar yang diekspor hanya 1.200 ton, atau sekitar 0,6 persen dari total produksi. Jadi kalangan industri tidak akan kekurangan bahan baku," ujarnya.

Menanggapi hal itu, Amrizal mengaku bahwa data yang dikemukakan itu perlu dicek kembali, karena menurut data Sensus Ekonomi 2015, ada kesenjangan yang cukup besar antara data yang disajikan pemerintah daerah dengan hasil SE 2015.

Pemprov Sulteng, katanya, harus segera membuat tim khusus yang mengatur masalah kuota ekspor kelapa mentah ini, melakukan audit yang mendalam terhadap produksi kelapa serta kebutuhan kalangan industri untuk menjadi dasar menetapkan berapa kuota untuk ekspor kelapa biji.

"Kuota ekspor kelapa biji (mentah) seharusnya diberikan setelah seluruh kebutuhan industri di daerah ini terpenuhi," katanya.