Melawan teror Kampung Melayu

id teror

Melawan teror Kampung Melayu

Peti jenazah korban ledakan Kampung Melayu, Briptu Anumerta Imam Gilang Adinata, dari rumah duka menuju lokasi upacara pemberangkatan jenazah di SDN Menteng Dalam 05 Pagi, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (25/5/2017). ( ANTARA News/Gilang Galiartha)

Aksi terorisme yang terjadi tadi malam Rabu (24/5) pukul 21.00 WIB tentu mengagetkan banyak kalangan. Meskipun memiliki skala kecil dibandingkan dengan aksi-aksi terorisme sebelumnya, tetapi dampaknya cukup besar bagi keamanan di Indonesia. 

Bom yang diduga kuat dilakukan lewat bom bunuh diri menarget kerumunan massa dan petugas keamanan. Akibat ledakan bom tersebut, lima orang tewas dan 10 orang lainnya terluka. Dari lima korban tewas, tiga di antaranya adalah anggota polisi.

Apa target dan motif aksi terorisme kali ini? Bagaimana publik di Indonesia harus mensikapinya?

Enders and Sandler (1993) bukunya berjudul The Nature of Terrorism bahwa tindakan terorisme selalu menghitung tindakannya baik dilakukan dalam sekala kecil maupun besar. 

Aksi-aksi dengan kekerasan yang tidak normal dan mengancam, terutama aksi bom bunuh diri, dilakukan dengan menghitung dampak dan pengaruh di publik. Karenanya, mereka menargetkan aksi-aksi mereka pada kerumuman massa dan aparatur keamanan untuk menciptakan ketidakstabilan negara. 

Semakin bervariasi dan luas target terorisme semakin sulit bagi otoritas negara dalam mengantisipasi aksi-aksi berikutnya. 

Negara harus memutuskan cara tepat dalam memerangi terorisme sebagaimana kelompok teroris dan para sponsornya itu selalu merencanakan model aksi apa yang dapat mereka lakukan agar target kekacauan itu tercapai.

Target Terorisme
Terorisme itu bukan aksi tidak rasional tetapi benar-benar mempelajari kondisi sosial politik dan berusaha untuk mendapatkan simpati atas aksi-aksinya. 

Target aksi terorisme adalah memecah belah bangsa. Oleh karena itu sikap umat Islam harus satu dalam menghadapi aksi-aksi terorisme di Indonesia. Mengecam dan tidak memberikan ruang sekecil apa pun terhadap justifikasi tindakan terorisme.

Aksi bom di Kampung Melayu jelas menunjukkan adanya target untuk menciptakan ketakutan kepada publik karena dilakukan di sarana publik yaitu terminal. Di samping itu mereka berusaha memecah belah bangsa dengan menargetkan aparat kepolisian. 

Kerumunan adalah hal yang jamak digunakan sebagai tempat dan target aksi-aksi terorisme. Aksi-aksi dalam skala kecil dapat dengan mudah mempengaruhi dan memberi rasa takut kepada khalayak umum. 

Dalam waktu cepat aksi-aksi terorisme menyebar lengkap dengan berita dan foto-foto yang menyeramkan. Keresahan dan ketakutan massa inilah yang menjadi target utama.

Pada sisi lain, sekarang ini kepercayaan sebagian umat Islam terhadap kepolisian sedang mengalami penurunan. Penurunan ini dampak dari penanganan kasus Ahok. 

Para teroris membaca fenomema ini dan berusaha mendapatkan simpati dari umat Islam atas tindakan mereka itu. Kritikan terhadap penguasa juga mengalami peningkatan, termasuk rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia. 

Di sini pelaku terorisme berusaha untuk memanfaatkan dan memainkan emosi publik agar bersimpati kepadanya. Di samping untuk memecah belah bangsa dengan berusaha menghadapkan sebagian umat Islam dan aparat keamanan dan penguasa, aksi di balik terorisme Kampung Melayu ini juga berusaha melakukan intensifikasi radikalisme di kalangan umat Islam tertentu.

Kelompok Islam yang sedang kehilangan kepercayaan kepada aparat keamanan dan penguasa dipaksa untuk bersimpati kepada tindakan-tindakan mereka. 

Kelompok Rentan
Setiap kelompok tanpa memandang latar belakang agama maupun idiologi memeliki kerentanan yang sama dalam jangkauan terorisme. Banyak contoh dalam sejarah pelaku terorisme berasal dari spektrum yang beragam, baik itu sekuler, agamis maupun etnis. 

Kihmi and Even (2004) dalam studinya tentang motivasi keterlibatan seseorang dalam aksi-aksi terorisme menyebutkan 4 (empat) faktor utama yaitu agama, ekonomi, psikologi dan politik. Karenanya, perlu untuk mengkaji motif-motif para pelaku terorisme. 

Kelompok yang rentan dalam sisi psikologis adalah mereka yang tereksploitasi dalam kelompok-kelompok terorisme. Ini biasanya para pelaku bom bunuh diri yang cenderung masih usia muda yang secara psikologis mengalami persoalan identitas. 

Hal menarik adalah banyak aksi terorisme dengan targetnya itu itu dilakukan secara adhoc. Artinya hubungan antara pelaku yang tereksploitasi dan pemberi order menjadi tidak jelas. 

Untuk menyamarkan jaringannya mereka sering masuk dalam kelompok-kelompok lain yang sudah dikenal di masyarakat. Makanya, ketika pihak otoritas keamanan sedang sibuk mengawasi kelompok terduga justru teroris yang sebenarnya sedang merencanakan aksi berikutnya.

Kalangan muda adalah kelompok yang paling rentan tereksploitasi dalam aksi terorisme karena mereka sering memiliki masalah-masalah personal dan keluarga. 

Adanya perasaan tidak bermanfaat (terbuang), depresi maupun perasaan bersalah dan berdosa adalah menjadi salah satu pintu masuk pemuda bergabung dalam kelompok-kelompok teroris. 

Dengan bergabung dengan kelompok radikal yang menjanjikan cara muda dalam menghapus dosa membuat mereka memiliki makna dalam hidup. 

Ditambah lagi adanya doktrin yang membutakan mereka bahwa dengan melakukan aksi-aksi bom bunuh diri dan semisalnya dapat mengantarkan mereka ke surga. Ketika mereka mulai terekpose dalam kelompok teroris mereka sadar bahwa tidak ada jalan untuk keluar. 

Persoalan kelompok rentan terpapar aksi-aksi terorisme inilah yang harus menjadi perhatian khusus. Agar tidak ada lagi korba-korban berikutnya di masa mendatang.

Sikap 
Secara umum umat Islam di Indonesia cukup cerdas membaca sabotase yang dilakukan oleh kelompok teroris. Apa pun bentuk aksi terorisme tidak akan pernah mendapatkan tempat di hati umat Islam. 

Publik di Indonesia terutama umat Islam cukup rasional dan tidak akan pernah bersimpati terhadap aksi-aksi terorisne. Mereka paham betul kapan harus mengkritisi kepolisian dan kapan harus bersama-sama dengan kepolisian. 

Dalam kasus bom bunuh diri di Kampung Melayu dan kasus-kasus terorisme sejenisnya, para pelaku dan mereka yang merencanakan terorisme itu gagal mencapai tujuan dan sasarannya apabila Islam selalu bersama kepolisian untuk memerangi segala bentuk terorisme. 

Dengan demikian maka aksi-aksi terorisme tidak akan mendapatkan tempat di Indonesia dan semakin sempit ruang geraknya. Prinsipnya publik tidak boleh takut dan merasa tidak aman. 

Segala komponen bangsa harus bersatu dan sadar bahwa upaya memecah belah bangsa harus dilawan. Segala upaya untuk menjebloskan dan menarik umat Islam dalam pusaran radikalisme harus dihindarkan. 

Semua elemen bangsa harus kembali bergandengan tangan mempertahakan bangsa dan negara. Dengan demikian aksi terorisme tidak akan dapat mencuri momentum apa pun. Bangsa dan negara pun terselamatkan. (skd)

*) Pengamat Timur Tengah dan Islam dari Universitas Indonesia (UI)