Dosen dilarang berpolitik, kalangan perguruan tinggi Israel tersulut amarah

id israel

Dosen dilarang berpolitik, kalangan perguruan tinggi Israel tersulut amarah

Bendera Israel. (Public Domain Pictures)

Jerusalem (antarasulteng.com) - Sivitas akademika Israel memperlihatkan kemarahan pada Sabtu (10/6) sehubungan dengan kemungkinan pemberlakuan kode etik baru yang melarang dosen berbicara politik di dalam kelas.

Menteri Pendidikan Israel Naftali Bennet mengeluarkan pernyataan kepada harian Yedioth Ahronoth pada Jumat bahwa ia memutuskan untuk mensahkan panduan etika baru buat lembaga pendidikan tinggi.

Bennet mengatakan ia berharap Dewan Pendidikan Tinggi, badan yang mengawasi sistem pendidikan tinggi di Israel dan Bennet bertugas sebagai ketuanya, akan membahas dan menyetujui kode etik tersebut "dalam waktu dekat".

Panduan tersebut akan dilaksanakan di semua universitas dan perguruan tinggi setelah kode etik itu diduga disetujui, katanya.

Kode etik yang diusulkan, yang salinannya dilihat oleh Xinhua, dirancang oleh Asa Kasher, Profesor Filsafat di Tel Aviv University.

Berdasarkan kode etik itu, para profesor akan dilarang "menyampaikan pandangan politik mereka di dalam kelas".

Masing-masing lembaga pendidikan akan diharuskan "membentuk satu unit yang akan memantau kegiatan politik" di kampus, sebagaimana dikutip dari Xinhua pada Minggu.

Kode etik tersebut juga akan melarang dosen menyerukan boikot akademis terhadap Israel.

Sivitas akademika bereaksi dengan marah, dan mencela tindakan itu sebagai anti-demokrasi.

VERA, organisasi payung para rektor universitas di Israel, menyiarkan satu pernyataan pada Sabtu yang mengatakan mereka "dengan tegas menolak" kode etik itu.

Kode etnik tersebut "meremehkan kebebasan lembaga pendidikan tinggi untuk memutuskan kode etik mereka sendiri buat staf akademis, sehingga melanggar kebebasan akademis dengan cara yang paling mendasar dan serius", kata pernyataan itu.

Koalisi sayap-kanan Isrel telah melancarkan upaya untuk menangkal kecaman internasional dan menyerukan boikot atas tindakan negeri tersebut selama 50 tahun menguasai Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza, tempat rakyat Palestina ingin mendirikan negara masa depan mereka.

Selama beberapa tahun belakangan, sivitas akademika dan artis yang terlibat dakan kegiatan politik yang menentang pendudukan telah sering menjadi sasaran anggota parlemen dan menteri sayap-kanan, yang menuduh mereka "tidak setia". (skd)