Meneropong perkembangan Islam di China dari mushala perempuan

id china

Meneropong perkembangan Islam di China dari mushala perempuan

Puasa Di China Para imam Masjid Niujie memimpin doa saat berbuka puasa di halaman masjid tertua dan terbesar di Beijing, China, Sabtu (10/6/2017). Puasa di China saat jatuh pada musim panas rata-rata berlangsung selama 16,5 jam. (ANTARA FOTO/M Irfan Ilmie)

Di dalam ruang ibadah yang luas di kompleks masjid di Distrik Xicheng, Beijing, lebih dari 100 orang perempuan mengenakan kerudung bermotif bordir warna-warni terlihat khusyu melakukan shalat.

Gerakan mereka mengikuti bacaan imam laki-laki di ruang lain masjid tersebut yang terdengar melalui pengeras suara yang terpasang di ruang khusus perempuan itu.

Selama bulan Ramadan, ratusan orang menjalani ibadah setiap hari di mushala khusus perempuan di kompleks Masjid Niujie yang sangat terkenal di daratan Tiongkok itu.

Pada saat kaum muslimah menghadapi pengekangan di berbagai belahan dunia, baik dalam pemisahan gender atau larangan memasuki masjid bersama kaum pria, sejumlah muslimah di China justru memiliki keunikan tersendiri.

"Mushala khusus perempuan di China merefleksikan karakteristik tersendiri. Bangunan mushala itu bagian dari penghormatan kami kepada kaum perempuan," kata Direktur Masjid Niujie, Liu Jun, sebagaimana dikutip Global Times, Rabu (21/6).

Selain untuk beribadah dan tempat belajar tentang Islam, mushala khusus perempuan tersebut juga menjadi ajang komunikasi internasional pada saat kaum perempuan di negara-negara Arab ingin mengunjunginya karena di negaranya tidak ada mushala khusus sedemikian itu, demikian ditambahkan Liu.


Karakteristik Tiongkok


Puasa Di China Imam Masjid Niujie memberikan tausiyah singkat sebelum azan Magrib waktu berbuka puasa di halaman masjid tertua dan terbesar di Beijing, China, Sabtu (10/6/2017). Puasa di China saat jatuh pada musim panas rata-rata berlangsung selama 16,5 jam. (ANTARA FOTO/M Irfan Ilmie)


Mushala khusus perempuan itu pertama kali dibangun pada 1921 di kawasan permukiman Shouliu, Distrik Xicheng.

Pada 1997 mushala tersebut dibongkar seiring dengan pembongkaran bangunan tua oleh pemerintah daerah setempat. Namun pada 2005, pemerintah membangun kembali mushala khusus perempuan di dekat bangunan lama dan masih di dalam kompleks Masjid Niujie.

Selama bulan Ramadan, Gui Jianrong harus bangun pukul 02.00 waktu setempat (01.00 WIB) untuk menuju mushala khusus perempuan tersebut.

Selain beribadah, perempuan berusia 54 tahun itu bersama beberapa perempuan lainnya bahu-membahu menyiapkan buka puasa.

"Perempuan muslim itu ibaratnya 'merengkuh separuh langit' karena memainkan peran yang lebih luas dalam aktivitas masyarakat," ujar Liu Jun dengan mengutip pepatah Mao yang sangat terkenal itu menggambarkan peran kaum hawa dalam pergaulan sehari-hari.

Tidak ada data resmi jumlah pengunjung mushala khusus muslimah di China itu. Namun Prof Shui Jingjun dari Henan Academy of Social Science, dalam bukunya berjudul "The History of Womens Mosques in Chinese Islam", mushala perempuan itu telah menjadi bagian utama dalam pembangunan masjid-masjid di beberapa provinsi, seperti di Henan, Hebei, Anhui, Shanxi, dan Shandong.

Di wilayah khusus etnik Hui di Ningxia juga memiliki mushala khusus perempuan, namun mereka tidak memiliki tradisi Islam seperti di daerah otonomi khusus etnis Uighur di Provinsi Xinjiang.

Liu mengungkapkan bahwa berdirinya mushala khusus perempuan di Niujie itu karena akulturasi budaya China dan tradisi Islam. 


Presiden Kunjungi Masjid Niujie Presiden Joko Widodo (ketiga kiri) didampingi Mensesneg Pratikno (kiri) dan Menlu Retno Marsudi (kanan) berbincang dengan Imam Masjid Niujie, Ali Yang Gunjun (kedua kiri) di Beijing, China, Minggu (14/5/2017). (ANTARA FOTO/Setpres-Laily Rachev)


"Muslim di China dipengaruhi oleh dominasi budaya yang tidak membatasi kaum perempuan dalam pergaulan sehari-hari," ujarnya.

Pria tersebut menyebutkan bahwa komunitas muslim di China mayoritas berasal dari etnis Hui. Etnis ini mendaku keturunan para pedagang dari Arab yang datang ke daratan Tiongkok 13 abad yang lalu dan menikah dengan penduduk setempat.

Akulturasi tersebut dapat dilihat dari tata cara mereka beribadah. "Oleh sebab itu kami punya karakteristik budaya Han yang memang sangat inklusif," tuturnya.

Selain perpaduan budaya yang saling memengaruhi, buku yang ditulis Shui tersebut juga menjelaskan keberadaan mushala perempuan.

Saat pertama kali tiba di daratan Tiongkok pada masa Dinasti Tang (618-907 M), umat Islam dari Arab itu dihormati sebagai tamu. Namun pada masa Dinasti Ming (1368-1644), muslim China tidak disukai dan menjadi sasaran tindakan represif.

Pada masa itu, komunitas muslim harus bisa menjamin budayanya agar tidak pudar dan karena itu kaum muslimahnya ikut bertanggung jawab menyebarluaskan keyakinannya.

Pada pertengahan abad ke-17, sekolah-sekolah agama yang dirancang untuk mendidik kaum muslimah bermunculan. Lalu pada masa Dinasti Qing (1644-1911), sekolah-sekolah tersebut berkembang menjadi mushala khusus perempuan.


Langka Imam Perempuan


Ma Yun yang bekerja di bidang pengembangan sumber daya manusia di Beijing membawa serta anaknya yang berusia dua tahun ke mushala khusus perempuan di Niujie selama bulan Ramadhan.

Pertama kali menemukan mushala khusus perempuan saat dia masih berusia 13 tahun ketika berkunjung ke Lanzhou, Provinsi Gansu, di wilayah baratlaut China.

"Saat baru bisa mempelajari Al Quran dan shalat di rumah, saya sangat menyukai kajian ilmiah di masjid," tutur ibu muda berusia 27 tahun itu. 

Mushala khusus perempuan itu memang bukan hanya tempat kaum muslimah belajar tentang agama, melainkan juga menjadi sumber pengetahuan kaum perempuan, khususnya yang sudah berusia lanjut, untuk belajar dasar-dasar pengetahuan agama.

Di beberapa wilayah perdesaan di China, beberapa kaum perempuan sering kali membaca dan menulis Arab di masjid sekitar di bawah bimbingan ustazah. Hal itu bagian dari keunikan komunitas Islam di China.

Wang Jingxian, seorang muslimah dari etnis Hui, pertama kali mengunjungi mushala khusus perempuan itu saat masih berusia enam tahun.

Pada saat itu, seorang ustazah mengajari kata per kata dalam Al Quran di sela-sela waktu shalat.

Pengalaman pada masa kanak-kanak itu masih jelas dalam ingatan Wang yang kini telah berusia 65 tahun itu.

"Meskipun saya tidak bisa cepat memahami apa yang dikatakan guru karena masih kecil, saya tetap berusaha," ujarnya mengenang masa-masa sulitnya memahami ajaran Islam.

Dia lahir di tengah keluarga yang sangat agamais dan saat itu keluarganya merupakan tokoh terkemuka komunitas muslim di Beijing. Bahkan beberapa imam di Beijing berasal dari kalangan keluarganya.

Mungkin dia bisa mengikuti jejak mereka menjadi imam, kalau saja tidak diintervensi Revolusi Budaya pada 1966-1976.

Saat Revolusi Budaya berlangsung, masjid tersebut dibubarkan dan imam perempuan melarikan diri. 

Pada saat Revolusi Budaya, masyarakat di China menuntut dihapuskannya empat peninggalan masa lalu yang meliputi ideologi, budaya, tradisi, dan kebiasaan.

"Saya meninggalkan Beijing dan pergi menuju salah satu desa di Provinsi Heilongjiang (China timurlaut)," tutur Wang.

Semua jenis aktivitas peribadatan dilarang selama era Revolusi Budaya. Hingga tahun 1980-an, aktvitas keagamaan kembali muncul di permukaan dan imam-imam perempuan kembali tampil.

Setelah kembali ke Beijing, Wang sudah tidak punya waktu untuk melanjutkan pendidikan agamanya karena tuntutan pekerjaan rumah tangga.

Dia menyelesaikan belajar Al Quran beberapa tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Di mushala khusus perempuan di Niujie, dia juga menjalin persahabatan dengan beberapa muslimah lainnya dan secara berkala menggelar kelas agama. 

"Sekarang saya merasa bahagia. Dengan dukungan penuh Partai, pemerintah, dan masyarakat, saya menikmati kebebasan beragama," ujarnya.

"Namun saya masih membutuhkan imam perempuan karena lebih nyaman untuk belajar, bercakap-cakap, dan praktik ibadah bersama. Kami perlu hijab (penghalang) jika harus bertemu dengan imam perempuan," katanya.

Menurut Liu, saat ini Masjid Niujie memiliki 10 imam laki-laki.


Imam Masjid Niujie, Beijing, Ali Yang Gunjun. (ANTARA FOTO/M Irfan Ilmie)


Dia menggambarkan antusiasme kawula muda terhadap Islam sangat mendukung aktivitas keagamaan di media sosial sehingga makin mendekatkan mereka dengan Islam.

Namun perkembangan dewasa ini juga memiliki tantangan tersendiri. Dalam bukunya Shui menuliskan bahwa sekarang imam perempuan yang kebanyakan telah memasuki usia senja tidak bisa memenuhi keinginan kaum muslimah muda dari kalangan terdidik.

Saat ini imam perempuan harus bisa memahami kitab suci dalam bahasa Arab yang jarang mereka ucapkan dengan lancar, demikian menurut buku karangan Shui.

Saat metode pengajaran yang dipraktikkan oleh imam laki-laki telah beberapa kali mengalami perubahan, imam perempuan cenderung lebih konservatif seiring dengan kesulitan mereka dalam mengembangkan mushala khusus perempuan.

Menurut Wang, mengembangkan mushala perempuan butuh pemahaman publik yang lebih luas terhadap kaum muslimah.

"Beberapa orang, termasuk di Niujie suka bertanya kepada kami kenapa kami mengenakan pakaian tertutup pada saat musim panas yang menggerahkan dan dipandang bermacam-macam yang membuat kaum muslimah minder dalam pergaulan sehari-hari," tutur Wang sebagaimana dikutip harian terkemuka yang dikelola partai berkuasa di China itu. (skd)