Indonesia Perlu Bangun Aplikasi Lokal

id aplikasi

Indonesia Perlu Bangun Aplikasi Lokal

Ilustrasi--Aplikasi Polisiku (polri.go.id)

Semarang,  (antarasulteng.com) - Pemerintah Tiongkok memberikan alternatif bermedia sosial bagi pengguna internet sehingga dengan mudah menolak Google dan Facebook yang enggan mengikuti regulasi Negeri Tirai Bambu.

Namun, menurut pakar keamanan siber Pratama Persadha, Indonesia sulit meniru langkah Tiongkok itu. Pasalnya, selain sebagai negara demokrasi, negeri ini juga belum siap dengan aplikasi alternatif untuk bermedia sosial dan aplikasi "instant messaging" (pesan instan) yang mumpuni.

Kendati demikian, Pemerintah perlu mewujudkan aplikasi lokal setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir Telegram yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

Dengan kasus pemblokiran itu, seharusnya Pemerintah memulai membangun aplikasi "instant messaging" lokal yang memudahkan pengguna dan akrab dengan kebiasaan orang Indonesia.

Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) itu mengingatkan jangan sampai 10 hingga 20 tahun mendatang orang Indonesia malah bertambah ketergantungannya pada aplikasi luar.

Kemkominfo pada hari Jumat (14/7) meminta "internet service provider" (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap 11 "domain name system" (DNS) milik Telegram.

Alasan pemblokiran, antara lain, relatif banyak kanal di dalam layanan tersebut yang bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images (gambar yang mengganggu), dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kesebelas DNS yang diblokir, yakni t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org. Dampak pemblokiran ini adalah tidak bisa diaksesnya layanan Telegram versi web (tidak bisa diakses melalui komputer).

Dalam rilis, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Semuel A. Pangerapan menyampaikan bahwa aplikasi Telegram dapat membahayakan keamanan negara karena tidak menyediakan "standard operating procedure" penanganan kasus terorisme.

Dirjen Aptika juga menegaskan bahwa dalam menjalankan tugas sebagaimana amanat Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kemkominfo selalu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga negara dan aparat penegak hukum lainnya dalam menangani pemblokiran konten-konten yang melanggar peraturan perundangan-undangan Indonesia.

    
Masih Berfungsi

Kendati Kemkominfo merilis pemblokiran itu pada hari Jumat (14/7), menurut Pratama, efektifnya sejak Senin (17/7). Dalam hal ini, beberapa "provider" langsung memblokir. Pemblokiran ini sementara menyasar pada Telegram berbasis web, sementara aplikasinya masih bisa berfungsi.

Menurut Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi, sebaiknya sebelum pemblokiran ada sosialisasi jauh-jauh hari sehingga tidak membingungkan masyarakat.

Selain itu, kata Pramata, dengan momentum tersebut pemerintah menjadi lebih menyadari pentingnya membangun aplikasi lokal lebih serius.

Pemblokiran demi keamanan negara jangan sampai melupakan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada jeda waktu dengan sosialisasi, apalagi pengguna Telegram jutaan orang.

Penggunanya relatif cukup banyak meski belum sebanyak WhatsApp, BBM, dan Line. Namun, dia memperkirakan efeknya tetap ada, terutama kepada mereka yang menggunakannya untuk bisnis.

Ia menegaskan bahwa Telegram seperti aplikasi lainnya bisa untuk hal positif maupun negatif. Namun, seharusnya memang Telegram tetap mengikuti aturan yang ada di Tanah Air, apalagi bila menyangkut keamanan negara.

Di Telegram, menurut dia, pengguna bisa memakai fitur "secret chat" yang ada dugaan para pelaku teror menggunakannya untuk berkomunikasi.

Percakapan pada fitur "secret chat" memang tidak bisa diakses, bahkan oleh pihak Telegram sekalipun.

Pratama menduga fitur lain di Telegram, yaitu "channel", relatif banyak untuk propaganda terorisme, terutama gerakan ISIS. Telegram sendiri sebenarnya sudah banyak menerima laporan dan mereka telah memblokir lebih dari 3.500 "channel" yang berkaitan dengan ISIS.

Ia memperkirakan jumlah itu akan terus bertambah. Oleh sebab itu, dialog antara pemerintah dan Telegram sangat perlu untuk menyamakan visi memberantas teror di Tanah Air.

Hal itu juga menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah untuk memaksa para penyedia layanan "over the top" (OTT), seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, dan Google untuk mengikuti regulasi di Indonesia.

Sebenarnya, secara umum komunikasi antara pemerintah dan penyedia layanan OTT ini tidak selalu tentang keamanan, tetapi juga terkait dengan model bisnis, pajak, dan paling penting apakah menyerap tenaga kerja lokal. Jangan hanya anak bangsa ini jadi komoditas mereka.

Di sisi lain, pemerintah harus serius mendorong perkembangan industri pertahanan siber dalam negeri. Hal ini penting, selain untuk membuka lapangan kerja, kemandirian ini akan melepaskan masyarakat Indonesia dari ketergantungan pada teknologi asing.

Pemerintah, kata Pratama, bisa melihat hal itu sebagai salah satu peluang, mulai dari pembentukan sumber daya manusiasampai pendampingan pada industri terkait. Apalagi, pada tahun 2015 ada sebanyak 48,8 juta laporan serangan siber di Tanah Air.

Kendati demikian, langkah Pemerintah Indonesia memblokir aplikasi Telegram sudahlah tepat untuk mencegah konten bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, dan paham kebencian sebelum bangsa ini memiliki aplikasi yang mirip Telegram, Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, dan Google.