10 persen "fee" sudah jadi norma umum

id laode

10 persen "fee" sudah jadi norma umum

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif (antaranews)

Jakarta (antarasulteng.com) - Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, menyatakan feesebesar 10 persen dari anggaran proyek menjadi norma umum terkait tindak pidana korupsi kepala-kepala daerah. 

"Ada pesan khusus yang ingin disampaikan KPK bahwa dari serentetan OTT yang dilakukan KPK dalam beberapa bulan terakhir, motivasi atau hal-hal mengapa orang-orang itu melakukan penerimaan suap itu terjadi, kebanyakan itu memotong uang dari proyek itu rata-rata 10 persen," kata Syarif, di Gedung KPK, Jakarta, Minggu.

Dia bilang itu di sela-sela konferensi pers penetapan tersangka terhadap Wali Kota Batu, Eddy Rumpoko, dan dua orang lain sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi suap pengadaan barang dan jasa di pemerintah Kota Batu Tahun Anggaran 2017.

"Jadi 10 persen ini kelihatannya menjadi norma umum dari setiap anggaran pemerintah," kata Syarif.

Syarif menyatakan, pada kasus Rumpoko itu terdapat total fee 10 persen dari nilai proyek sebesar Rp5,26 miliar.

"Oleh karena itu, jangan dilihat jumlah uang transaksinya tetapi bagaimana menyelamatkan proyek yang besar itu agar sesuai dengan yang direncanakan oleh pemerintah, karena yang rugi nantinya juga masyarakat secara umum," ucap Syarif.

Dalam kasus di Kota Batu tersebut, KPK telah menetapkan tiga tersangka, diduga sebagai pihak pemberi, yaitu pengusaha Filipus Djap (FHL).

Sedangkan diduga sebagai pihak penerima, yakni Rumpoko, dan Kepala Bagian Unit Layanan Pengadaan Kota Batu, Edi Setyawan.

Diduga pemberian uang terkait fee 10 persen untuk Rumpoko dari proyek belanja modal dan mesin pengadaan mebel di Kota Batu Tahun Anggaran 2017 yang dimenangkan PT Dailbana Prima dengan nilai proyek Rp5,26 miliar.

"Diduga diperuntukan pada wali kota uang tunai Rp200 juta dari total fee Rp500 juta. Sedangkan Rp300 juta 
dipotong FHL untuk melunasi pembayaran mobil Toyota Aplhard milik Wali Kota," kata Syarif.

Sedangkan Rp100 juta diduga diberikan Filipus Djap kepada Setyawan sebagai fee untuk panitia pengadaan.

Sementara kasus kepala daerah lain yang meminta fee 10 persen adalah Gubernur Bengkulu nonaktif, Ridwan Mukti. (skd)