Memetakan hutan adat Lindu, melindungi "jantung" Sulawesi

id lindu, tnll

Memetakan hutan adat Lindu, melindungi "jantung" Sulawesi

Kawasan hutan di tepi Danau Lindu, di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, yang disebut Bamba diajukan sebagai salah satu Hutan Adat Lindu. (ANTARA/Virna P Setyorini)

Jakarta (antarasulteng.com) - Samuel Tolei (72), tetua dari Majelis Adat Kecamatan Lindu, bercerita tentang hutan-hutan lebat yang menutupi punggungan pegunungan Nokilalaki, Adale, Konaa, Tumaru, Gimba, Jala, Rindi, dan Toningkolue yang membingkai danau indah di tengah-tengah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah. 

Tebalnya tutupan hutan di sana memberikan warna hijau yang kontras dengan birunya langit dan gemerlap pantulan cahaya matahari dari air Danau Lindu, danau tektonik seluas 3.488 hektare (ha) dengan kedalaman mencapai 200 meter (m) yang terbentuk sejak zaman Pliosen. 

Ia juga bercerita tentang padang savana, tempat hewan ternak yang dilepaskan begitu saja untuk memamah biak di sana. Sedangkan di Pulau Bola Lewuto dirinya menceritakan tentang leluhurnya, Madika Maradindo, yang dimakamkan dalam peti kubur kayu dengan ornamen kepala banteng dan terbuat dari garuhu. 

Peti kubur kayu berisi tulang rangka bangsawan Lindu ini merupakan peninggalan arkeologi berharga yang dimiliki Indonesia dan peradaban dunia, yang kemudian dilindungi keberadaannya dengan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, setelah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah menetapkannya sebagai cagar budaya. 

Entah berapa usia pasti peningggalan arkeologi tersebut, karena saat ditanya Samuel pun mengatakan tidak mengetahuinya dan hanya tahu bahwa peti kubur kayu itu sudah ada sejak zaman nenek moyangnya. 

Namun yang jelas peneliti Eropa, Adriani dan A.C. Kruyt, telah menuliskannya dalam buku "Van Poso naar Parigi een Lindoe" di 1898, dan Kruyt menuliskannya lagi dalam buku "De West Toradjas in Midden Celebes" di 1938. 

Orang-orang asli Lindu yang mendiami tiga dari lima desa di sana, yakni Desa Anca, Tomado dan Langko, memang masih memegang kuat adat mereka. Saat pertama kalinya datang ke daratan Lindu, seseorang akan terlebih dulu melalui prosesi Pepantodui, yang tujuannya agar selama berada di wilayah adat tersebut mereka akan selamat atau terhindar dari bahaya apapun. 

Namun yang banyak "ditakuti" bagi tamu pendatang di daratan Lindu tidak lain adalah denda adat atau biasa disebut gifu yang salah satunya bisa termasuk satu ekor kerbau. Sesorang bisa terkena gifu jika saat mengikuti proses makan adat mendahului para tetua adat di sana yang belum selesai makan. 

"Mencuci tangan saja terkena gifu jika pada saat bersamaan tetua adat belum selesai makan. Apalagi berdiri dan meninggalkan proses makan adat untuk keperluan apapun itu," kata Sekretaris Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi Eva Bande yang kebetulan sedang mendapat tugas bersama rekan-rekan lainnya melakukan pemetaan partisipatif di Hutan Adat Lindu. 

Bayangkan, bahkan Bupati periode sebelumnya dan anggota DPRD juga pernah ada yang terkena gifu dan harus membayar sanksi adat dengan kerbau ketika menjalani proses makan adat ini, lanjutnya.


(Tetua Adat Lindu (kiri) Samuel Tolei (72) bersama Camat Lindu Achmin Pampaw (kanan) menjelaskan soal makam leluhurnya Madika Maradindo kepada Sekretaris Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (ketiga kiri) di Pulau Bola Lewuto yang ada di Danau Lindu, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (30/8))

Ruang Adat Lindu

Samuel memang belum rampung menceritakan perihal kelembagaan adat serta hak atas tanah dan pengelolaan wilayah adatnya saat berada di makam leluhurnya. Dirinya kemudian melanjutkan penjelasan saat berkumpul di Balai Pertemuan Adat Lobo yang memiliki pemandangan cantik menghadap langsung ke Danau Lindu. 

Orang-orang Dataran Lindu sudah sejak lama membagi ruang adat mereka menjadi beberapa bagian, sebut saja Suaka Maradika yang hanya diperuntukkan untuk keperluan tertentu, Suaka Ntodea yang menjadi kawasan umum dapat dikelola masyarakat namun tetap terbagi lagi menjadi beberapa bagian, seperti Ngura, Pangale dan Wanangkiki. 

Lalu ada pula Suaka Lambara yang menjadi lokasi khusus penggembalaan, seperti yang sudah Samuel ceritakan sebelumnya. Ada pula Suaka Wiyata dan Suaka Parabata. 

"Di Suaka Wiyata sama sekali tidak boleh ada penebangan pohon, kalau sampai ada penebangan maka melalui peradilan adat dijatuhkan sanksinya bisa berupa satu kerbau, 10 dulang (belanga tembaga) dan satu mesa (kain adat)," ujar Samuel. 

Fungsi kelembagaan adat Lindu yang bernama Totua Noada juga masih berjalan dengan baik, dengan struktur lembaga adat terdiri atas Jogugu yang terdiri dari Tutua Ngata yang memutuskan perkara, Galara yang mengambil keputusan, Pabisara yang menjadi pengacara, Kapita sebagai penengah putusan perkara, serta Suro yang bertindak sebagai utusan atau penghubung yang sedang berperkara. 

Dengan demikian sanksi-sanksi yang dijatuhkan sudah melalui sistem peradilan adat yang masih berjalan di sana. 

Alam dan Lindu

Masih saat berbincang di Balai Pertemuan Adat Lobo, Kepala Desa Tomado Yoseph Todera mengatakan dengan tegas bahwa tanpa keberadaan Taman Nasional Lore Lindu sebenarnya masyarakat adat sudah menjalankan konservasi. Pengetahuan tentang kelestarian alam sudah tertanam baik dalam adat Lindu, terbukti dengan sudah dan masih adanya pembagian ruang To Lindu. 

Penetapan TNLL pada 1993 tanpa sosialisasi pada masyarakat justru membuat desa-desa di Daratan Lindu terjebak dalam kawasan taman nasional, ujar Yoseph. 

"Di Palili pohon pinang tidak boleh ditebang. Menurut keyakinan orang Lindu itu makanan mereka yang tidak terlihat mata sehingga jika hilang akan mendatangkan penyakit," lanjutnya. 

Dengan pengaturan ruang yang jelas serta fungsi kelembagaan adat yang tetap berjalan dapat dilihat tidak ada hutan di sekitar Danau Lindu yang gundul, padahal kampung sudah ada sejak ratusan tahun lalu, ujar Samuel, berusaha mempertegas pernyataan Yoseph. 

Kampung tua di Anca sempat disebut sebagai kampung hantu karena dulunya tidak terlihat dari kejauhan, tertutup rapat oleh pohon-pohon beringin besar yang mengelilinginya. Pohon-pohon tersebut terpaksa dipangkas sebagian pada 1974, setelah kasus penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit endemik jenis Schistosoma yang di Indonesia hanya ditemukan di Dataran Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah. 

"Itu pun masih ada beberapa pohon beringin besar yang sengaja disisakan. Ini menjadi bukti bahwa orang-orang Lindu sangat memelihara hutan dan lingkungannya, dan sangat membenci membabat hutan, apalagi di hulu sungai," lanjut Samuel. 


 

Memetakan Hutan Adat

Jika melihat sekilas peta Pulau Sulawesi, maka Danau Lindu seperti berada di tengah pulau ini, seperti berada tepat di tengah layaknya jantung bagi pulau yang dikenal dengan sebutan Celebes oleh para pencari rempah-rempah di masa lampau. 

Belantara lebat yang mengelilingi danau tektonik ini menjadi daerah tangkapan air yang kemudian alirannya melalui tiga sungai besar di Sulawesi Tengah, yakni Sungai Lariang, Sungai Gumbasa dan Sungai Palu. 

Hutan-hutan Adat Lindu, menurut Samuel, juga menjadi rumah bagi spesies-spesies endemik Pulau Sulawesi seperti anoa, babi rusa, selain juga sapi dan babi hutan. Damar juga menjadi flora yang banyak menutupi dataran yang berada di ketinggian di atas 900 mdpl tersebut. 

Dalam era Reforma Agraria yang sedang dijalankan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, masyarakat yang mendiami Dataran Lindu menyambut baik pemberian akses lahan oleh Pemerintah melalui Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial yang didalamnya juga mencakup pemberian hak atas Hutan Adat. 

Camat Lindu Achmin Pampaw mengatakan bersyukur program Reforma Agraria menyentuh masyarakat hingga ke pelosok Lindu, dan akan mendukung percepatan program tersebut dengan ikut mengawal penyelesaian proses pemetaan partisipatif yang dilakukan lima desa di Kecamatan Lindu. 

Jika Desa Anca telah rampung memetakan 208 ha hutan yang akan diajukan menjadi Hutan Adat, maka Desa Tomado sedang proses pemetaan partisipatif lebih kurang 1000 ha untuk diajukan menjadi hutan adat. 

Proses pemetaan partisipatif oleh masyarakat tidak hanya dilakukan Masyarakat Adat Lindu, karena masyarakat di 125 desa di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, serempak melakukan hal yang sama. "Kami targetkan Oktober nanti semua selesai dan persyaratan pengajuan alokasi TORA dan Perhutanan Sosial terpenuhi sehingga bisa diajukan ke Pemerintah Pusat," kata Mohamad Irwan Lapatta. 

Pemerintah menyiapkan dua skema legislasi dan redistribusi lahan seluas 9 juta ha, serta melalui pelaksanaan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha yang salah satunya alokasi untuk Hutan Adat. Namun sejauh ini baru 13.122,3 ha lahan atau areal hutan yang resmi berstatus Hutan Adat. 


(Suasana pertemuan Tim Gugus Tugas Reforma Agraria Sigi dan wartawan dengan masyarakat Adat Lindu di Balai Pertemuan Adat Lobo di Desa Tomado, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (30/8)).