Ombudsman Temukan Maladministrasi Pertambangan di Donggala

id Tambang, Ombudsman

"Ada izin yang titik koordinatnya sampai ke tengah laut. Kemungkinan ini disengaja sehingga ada ruang untuk menimbun laut,"
Palu (antarasulteng.com) - Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah menemukan adanya dugaan maladministrasi terhadap pengelolaan pertambangan batuan di Kabupaten Donggala dan Kota Palu.

Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sulawesi Tengah Sofyan Farid Lembah di Palu, Jumat sore, mengatakan dari 27 perusahaan yang diobservasi hanya dua perusahaan yang tidak bermasalah.

"Maladministrasi ini dilakukan pemerintah daerah," kata Sofyan dalam diskusi problematika pertambangan mineral bukan logam dan batuan di Kota Palu dan Donggala.

Ia mengatakan maladministrasi tersebut berupa penyimpangan prosedur dan melawan hukum yang merugikan daerah dalam peningkatan pendapatan dan kerusakan lingkungan.

Selain itu juga melanggar rencana tata ruang kawasan di Teluk Palu.

Sofyan mengungkapkan saat ini terdapat 72 perusahaan tambang di Kota Palu dan di Kabupaten Donggala yang terbentang di sepanjang Teluk Palu dari wilayah pantai barat Donggala sampai di Banawa.

Ia mengatakan dari jumlah tersebut 53 diantaranya terdapat di Kabupaten Donggala dan lainnya di Kota Palu.

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Ombudsman, terungkap sejumlah terkait pertambangan yang umumnya beroperasi di sepanjang jalan trans Sulawesi tersebut.

Menurut Sofyan, dari titik koordinat saja sudah ditemukan sejumlah kejanggalan antara lain ada titik koordinat sampai ke laut.

"Ada izin yang titik koordinatnya sampai ke tengah laut. Kemungkinan ini disengaja sehingga ada ruang untuk menimbun laut," katanya.

Selain itu juga terdapat titik koordinat yang masuk ke wilayah administrasi daerah lain.

Menurut Sofyan, titik koordinat yang salah tersebut secara hukum, izin yang diterbitkan pemerintah daerah cacat secara hukum.

"Ada juga izin usaha pertambangan di luar kewenangannya," katanya.

Dari sisi administrasi kepemilikan lahan, pemerintah bahkan mengeluarkan izin di atas lokasi yang hanya memiliki surat keterangan pemilikan tanah (SKPT).

Kondisi ini kata dia, lahan tersebut berpotensi dikuasai selamanya oleh perusahaan sehingga negara tidak bisa hadir di ranah tersebut.

Masalah lainnya kata dia, ada perusahaan yang sudah beroperasi di luar batas titik koordinat sehingga masuk sampai ke lokasi orang lain.

"Ada izin yang tumpang tindih," katanya.

Masalah lainnya kata dia, perusahaan tidak memiliki izin perubahan alur sungai dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) III.

Anehnya lagi, ada beberapa izin inprosedural karena pemberian izin lingkungannya mendahului penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan.

Sofyan mengatakan Ombudsman akan memberikan rekomendasi kepada gubernur, bupati/wali kota, Polda Sulteng dan kejaksaan atas dugaan maladministrasi yang ditemukan Ombudsman tersebut.***