Bangun Wilayah Perbatasan Seperti Kota

id kota, batas, negara

Bangun Wilayah Perbatasan Seperti Kota

Pulau Sebatik di Kalimantan Timur (ANTARA)

Sebatik, Nunukan, (antarasulteng.com) - Pemerintah agar membangun kawasan perbatasan seperti membangun kota sehingga perbedaan di wilayah Indonesia dengan negera tetangga tidak terlalu mencolok, kata Pakar Sosial Prof Dr Taufik Abdullah.

"Ketika saya tinggal beberapa hari di perbatasan Thailand-Myanmar, saya sangat marah kepada pemerintah kita," kata Taufik Abdullah yang bersama rombongan anggota  Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) berkunjung ke Pulau Sebatik, Kalimantan.

Ia mengatakan, Pemerintah Thailand membangun perbatasannya seperti mereka membangun kota-kotanya dengan infrastruktur dan fasilitas sosial dan umum yang lengkap, demikian pula dengan pemerintah Myanmar, meski perbatasan Thailand lebih baik dibanding Myanmar.
 
"Perbatasan Thailand dibangun bagus sekali hampir seperti layaknya Bangkok dengan fasilitas lengkap, demikian pula Malaysia membangun perbatasannya seperti kota," kata Taufik yang membandingkan kondisi tersebut dengan kondisi perbatasan Indonesia yang seperti kampung dengan Malaysia di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat  dan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Taufik bersama pakar sosial lainnya Prof Dr Ichlasul Amal, Prof Dr Sediono Tjondronegoro, Dr Fajri Alihar dan Dekan FISIP Universitas Syahkuala Syarifuddin Hasyim, sebelum berangkat berdiskusi dengan para dosen Universitas Borneo Tarakan (UBT) dan memberi Kuliah Umum tentang "Kondisi Wilayah Perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan Utara" kepada mahasiswa UBT, di Tarakan.

Masalah ekonomi masyarakat perbatasan yang terbelakang, menurut Taufik, sudah menjadi fakta di perbatasan manapun di Indonesia, karena pemerintah pusat maupun provinsi lebih senang membangun terus pusat pemerintahannya, suatu tradisi yang perlu dikikis.

"Pemerintah terlalu Jakarta sentris atau Samarinda sentris. Padahal kita saat ini bernegara dengan bentuk negara modern, bukan kerajaan seperti di masa lalu yang hanya membangun kotanya, lalu semakin jauh dari pusat semakin terabaikan. Majapahit adalah masa lalu, Kutai Kertanegara juga masa lalu," kata sejarawan itu.

Kepala Pusat Pengembangan Wilayah dan Kawasan Perbatasan UBT M Asfihan mengatakan, masyarakat perbatasan di Pulau Sebatik, sebuah pulau yang dipisahkan oleh batas negara, sebenarnya tidak pernah saling bertengkar karena mereka satu rumpun (penduduk Pulau Sebatik sebagian besar merupakan suku Bugis -red).

"Masalah muncul, setelah ada batas, lalu perlakuannya menjadi berbeda. Seperti anak yang baju-bajunya dibelikan oleh tetangganya, jadi si anak marah kepada bapaknya, bukan kepada tetangganya," katanya.

Ia juga menyebut, pendekatan terhadap masalah perbatasan di Indonesia selama ini lebih kepada pendekatan keamanan sehingga yang dibangun lebih banyak adalah pos-pos keamanan bukan fasilitas sosial seperti rumah sakit.

Wajar saja, ujarnya, jika kemudian warga Indonesia di Pulau Sebatik membawa hasil bumi seperti kelapa sawit, kakao, pisang, ke seberang (Tawau, Malaysia) lalu pulang  membawa sembako seperti gula hingga barang elektronik serta menggunakan mata uang ringgit selain rupiah.(D009/SKD)