Kerja Paksa Memupus Cinta Pertama

id asman todjodolo, kerja paksa, tapol, cinta

Kerja Paksa Memupus Cinta Pertama

Asman Yodjodolo (FOTO ANTARA/Riski Maruto/12)

Saya hanya ingin tau kabarnya, dan ingin bertemu dalam keadaan sebagai teman. Tidak lebih,".

Sebagai lelaki normal Asman Yodjodolo memiliki rasa cinta kepada wanita. Namun sebagai seorang tahanan politik, kisah cintanya dengan gadis desa tidak bisa berlanjut karena ia harus berpindah-pindah tempat untuk menjalani kerja paksa pada tahun 1969.

"Saya hanya pacaran selama empat bulan, itupun secara sembunyi-sembunyi," kata Asman korban kerja paksa di Sulawesi Tengah pada periode 1966-1979 mengenang kisah cintanya puluhan tahun silam.

Asman yang saat ini berusia 70 tahun mulai mengenang pujaan hatinya bernama Nurhayati. Nurhayati yang saat itu diperkirakan berusia 20 tahun adalah sosok perempuan sederhana yang tinggal di Desa Sibedi, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi.

Asman yang saat itu sedang mengerjakan proyek pembangunan Markas Koramil Marawola bertemu dengan Nurhayati secara kebetulan. Pria kelahiran 12 Oktober 1943 ini langsung jatuh hati begitu melihat Nurhayati yang memiliki kulit kuning langsat dengan rambut bergelombang sebahu.

Untuk pertemuan yang kesekian kalinya, Asman berani mengungkapkan cinta meski saat itu di sela-sela istirahat kerja paksa.

Cinta Asman tak bertepuk sebelah tangan, Nurhayati membalas cintanya.

Sebagai bentuk rasa cinta, Nurhayati sering membawakan sarapan kepada Asman. Sarapan saat itu sangat berharga sekali bagi para pekerja paksa.

Puluhan pekerja paksa hanya mendapatkan jatah makan dua kali sehari, pada siang dan malam.

Menu sarapan pagi yang dikirim Nurhayati itu dibawakan secara sembunyi-sembunyi karena khawatir diketahui petugas yang berjumlah dua orang.

"Kalau ketahuan bisa dipukuli, dan makanan itu dibuang," kata Asman usai mengikuti acara pengakuan korban kekerasan HAM di Kota Palu baru-baru ini.

Untunglah selama bekerja di Marawola, Asman tidak pernah ketangkap basah saat dikirimi sarapan oleh kekasihnya.

Namun kisah asmara dua sejoli itu harus berakhir karena Asman harus menjalani kerja paksa ke Kabupaten Donggala untuk membangun Kantor Bea dan Cukai Sulawesi Tengah.

Tidak ada kata perpisahan kepada Nurhayati saat itu, puluhan pekerja paksa diangkut menuju proyek pembangunan selanjutnya.

Bagaimana cara untuk mengatasi rasa rindu? Asman hanya menjalani hari-harinya dengan kerja paksa, dengan sendirinya rasa kangen itu akan hilang seiring berputarnya waktu. Rasa rindu boleh hilang namun kenangan sosok Nurhayati tak bisa lepas hingga sekarang.

Ingin bertemu
Meski hanya menjalani kisah asmara selama empat bulan, Asman hingga kini mengaku tidak bisa melupakan sosok Nurhayati yang secara tulus mencintainya.

Asman saat ini telah dikaruniai seorang anak, buah pernikahan dengan Femi pada 1980.

Dia sendiri bebas sebagai tahanan politik pada 1979 dan setelah itu terpikat dengan Femi.

Asman bekerja sebagai penjual es cendol keliling untuk menghidupi keluarganya di daerah Kota Palu bagian utara.

Sebagai mantan tahanan politik, dia susah untuk mencari pekerjaan di pemerintahan atau swasta karena di KTP-nya tertera huruf ET yang merupakan singkatan dari Eks Tapol (tahanan politik).

Meski telah beristri dan dikaruniai seorang anak, Asman masih penasaran ingin bertemu dengan Nurhayati.

"Saya hanya ingin tau kabarnya, dan ingin bertemu dalam keadaan sebagai teman. Tidak lebih," ujarnya.

Mungkin suatu saat nanti, Asman akan menemui cinta pertamanya itu, tapi entah kapan waktunya.

Asman seolah menderita lahir dan batin, yakni menjadi korban kerja paksa dan terpaksa kehilangan cinta pertama.

"Padahal saya sangat serius sekali saat itu. Mungkin belum jodohnya," kata anak pertama dari delapan bersaudara ini.

Kompensasi upah
Asman Yodjodolo yang kini sudah mempunyai seorang putra meminta kepada pemerintah untuk membayar kompensasi upah selama ia dipekerjakan.

"Selama 13 tahun saya kerja membangun jalan dan fasilitas umum lainnya tanpa upah, justru penyiksaan yang dialami," katanya.

Dia menceritakan dirinya ditangkap aparat karena dianggap mengikuti organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang diduga berafiliasi pada partai politik terlarang pada 1965.

"Saya sedang mengajar di kelas, tiba-tiba belasan aparat menangkap tanpa menyebutkan kesalahan apa yang telah saya lakukan," kata Asman yang saat itu menjadi guru SD di Tompe, Kabupaten Donggala.

Usai menjalani masa penahanan selama dua tahun sejak 1966, Asman bersama ratusan tahanan politik lainnya dipekerjakan secara paksa untuk membangun infrastruktur berupa jalan Palu-Parigi, jalan menuju Bandara Mutiara Palu, tanggul Sungai Gumbasa di Kabupaten Sigi, Membangun Kantor Korem 132/Tadulako, Kantor Bea Cukai Palu, dan sejumlah bangunan fisik lainnya.

Selama menjalani kerja paksa dengan fasilitas kesehatan minim, dua rekannya meninggal dunia saat membangun Jalan Palu-Parigi dan saat membangun Kantor Koramil Marawola di Kabupaten Sigi.

Kedua temannya itu sakit karena kelelahan dan dan pengaruh cuaca yang saat itu kurang bersahabat. Mereka berdua hanya dikubur di pinggir jalan.

Bahkan, selama menjalani kerja paksa tak jarang para tahanan politik yang jumlahnya sekitar 700-an mengalami siksaan fisik dari penjaga.

"Kalau terlambat bangun saja pasti dipukuli, dan kita harus kerja keras tanpa bayaran di tengah terik matahari atau dinginnya malam," kata Asman yang saat ini tinggal di Kelurahan Tawaeli, Palu Utara.

Setelah bebas pada 1979 tanpa melalui proses peradilan, Asman masih dikenakan wajib lapor dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang di sudut kanannya bertuliskan ET (Eks Tapol).

Saat ini wajib lapor dan KTP tersebut sudah tidak ada lagi, namun Asman berharap pemerintah bisa membayar ratusan pekerja paksa.

"Bayar saja dengan upah paling minimum agar kami merasa dihargai meski hingga saat ini saya tidak mengetahui kesalahan di masa lalu hingga menyebabkan dipenjara," kata Asman.
(R026)