Jakarta
(antarasulteng.com) - Indonesia telah lama menetapkan diri ingin menjadi
negara industri tangguh di dunia. Semudah itukah? Jelas tidak, karena
banyak tantangan menghadang pencapaian visi itu, baik berlandas kondisi
eksternal ataupun internal yang berubah cepat.
Satu
ilustrasi, perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia pada dua tahun
terakhir melambatkan ekspor nonmigas Indonesia, pasar ekspor tidak mampu
menampung produk, yang berdampak pada perlambatan industri nasional.
Di
tengah perlambatan ekspor, Indonesia juga harus membuka diri terhadap
barang impor dari negara lain seiring dengan keanggotaan negeri ini
dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta perjanjian perdagangan
bilateral dan regional.
"Bersama Kementerian
Perdagangan kami sepakat memanfaatkan semua instrumen kebijakan, untuk
mengawasi dan menekan peredaran barang-barang impor. Di antaranya
mewajibkan penerapan Standar Nasional Indonesia, mekanisme pengamanan
pasar dalam negeri dari lonjakan impor, dan melakukan razia.
Mudah-mudahan tahun ini akan lebih intensif," kata Menteri
Perindustrian, MS Hidayat, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rangkaian
taktik dan strategi itu dia nilai penting, untuk melindungi industri
dan konsumen domestik dan penyerapan tenaga kerja.
Dalam
tiga tahun terakhir, industri nasional tumbuh di atas lima persen (5,12
persen pada 2010, 6,74 persen pada 2011, dan turun tipis pada 2012
menjadi 6,4 persen). Bahkan pada 2011 dan 2012, pertumbuhan itu mampu
melampaui pertumbuhan ekonomi nasional, masing-masing sebesar 6,49 dan
6,23 persen.
Tahun ini, pihaknya memasang
target optimis pertumbuhan ekonomi nasional bakal menembus angka 7,14
persen. Bukan tanpa argumen, "Kinerja sektor industri nonmigas membaik
dan peningkatan investasi di sektor ini makin pesat, maka pertumbuhan
indutri nonmigas bisa mencapai sedikitnya 6,8 persen. Bahkan jika
upaya-upaya maksimal bisa dilakukan, industri nonmigas bisa tumbuh
sekitar 7,14 persen," kata dia.
Tahun lalu
investasi perusahaan modal asing (PMA) di sektor industri tumbuh 73,35
persen menjadi 11,77 miliar dolar Amerika Serikat pada 2012 dibandingkan
tahun sebelumnya. Sementara investasi perusahaan dalam negeri (PMDN)
naik 29,47 persen menjadi Rp49,89 triliun.
Dia
perkirakan tahun ini investasi dan ekspor produk industri masih
bertumbuh meskipun tidak signifikan. Investasi PMA diperkirakan tumbuh
menjadi 12 miliar dolar Amerika Serikat, sedangkan PMDN turun menjadi
Rp42 triliun.
"Proyeksi investasi PMDN tersebut
belum menghitung sejumlah proyek yang masih dalam tahap negosiasi,"
katanya. Pihaknya memproyeksikan pada 2013 ekspor produk industri
mencapai 125 miliar dolar Amerika Serikat, atau naik dibandingkan 2012
yang mencapai 116,14 miliar dolar Amerika Serikat.
Andalan
ada pada kelompok industri industri pupuk, kimia dan barang dari karet
yang tahun lalu mencapai 10,25 persen, kemudian kelompok industri semen
dan barang galian bukan logam (tumbuh 7,85 persen), serta kelompok
industri industri makanan, minuman dan tembakau (tumbuh 7,74 persen).
Masih
ada kelompok industri alat angkut, mesin dan peralatan dengan
pertumbuhan sebesar 6,94 persen tahun lalu. "Kelompok industri tersebut
akan menjadi motor pertumbuhan industri manufaktur tahun ini," ujar
Hidayat.
Untuk mendukung visi Indonesia negara
industri tangguh pada 2020, Kementerian Perindustrian berkomitmen dan
secara konsisten terus menjalankan program hilirisasi, yaitu mengolah
produk mentah dari negeri ini menjadi bernilai tambah sebelum diekpor ke
mancanegara.
"Kebijakan dan program
hilirisasi tidak bisa ditawar lagi," ujar Hidayat. Bukan rahasia lagi,
mengekspor produk mentah memang cepat menghasilkan uang namun jangka
panjang akan merugikan pada berbagai aspek.
Program
hilirisasi, didorong penuh pada produk berbasis pertanian, mulai
pengembangan industri hilir kelapa sawit, yaitu minyak goreng,
biodiesel, dan oleokimia. Kemudian industri hilir kakao, yaitu kue,
pasta, mentega, dan bubuk.
Demikian pula
dengan komoditas karet, akan dikembangkan industri hilir ban, vulkanisir
ban, sarung tangan karet, alas kaki, dan produk mekanik berbasis karet.
Selama
ini produk mentah Indonesia rata-rata lebih dari 50 persen diekpor
dengan nilai tambah rendah. Pada 2010 misalnya, ekspor karet mencapai
781,9 persen dari total produksi nasional yang mencapai 2,8 juta ton.
Demikian pula dengan kakao, diekspor sebesar 77,35 persen dari total
produksi sebesar 559 ribu ton.
Sementara
barang tambang dan mineral, pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor
3/2013 tentang Percepatan Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui
Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri. Untuk itu, 65 jenis mineral
dikenakan bea keluar.
Selama ini, setidaknya
2008-2011 terjadi peningkatan bahan mentah bauksit dari 8 juta ton
menjadi 39 juta ton, sedangkan ekspor nikel naik dari empat juta ton
menjadi 34 juta ton, dan bijih besi mencapai 12,8 juta ton pada 2011
dari 1,5 juta ton pada 2008.
Demikian pula di
bidang minyak dan gas. Kementerian Perindustrian mengarahkan hilirisasi
dengan mengembangkan revitalisasi industry pupuk dan mendorong
pembangunan kawasan industry petrokimia di Teluk Bintuni di Papua Barat.
Selain hilirisasi, pemerintah cq Kemenperin
juga telah memiliki peta jalan pengembangan industry nasional, yang
mengandalkan industry alat angkut terutama otomotif dan perkapalan,
kemudian industry agro dan industri kecil dan menengah (IKM) sebagai
industry andalan di masa depan. (SKD)